Pesawat landing jelang malam, jam 7 waktu lokal Makassar (Indonesia Tengah)
Akhirnya, menginjakkan kaki di bumi Sulawesi. Senang. Dan sekejap kemudian kagum dengan Bandara Hassanudin ini, keren dengan disain minimalis, berkesan nyaman.
Aku kirim sms ke Torgis, teman baru dari couchsurfing, sekedar mengabarkan kalau aku telah tiba. Ia pun dengan senang hati memanduku menuju pusat kota via sms yang ia kirim balik. 'Dari bandara, ke kampus bisa naik Damri, nanti turun di depan kampus', begitu sarannya. Yup, kami memang punya janji ketemuan di kampusnya, sebelum lanjut keliling kota Makassar di malam hari, dan kemudian singgah di rumahnya.
Aku pun bergegas keluar terminal bandara dan tanpa susah payah aku temukan plang bertuliskan #BusDamri. Hanya plang, tanpa ada bus. Aku lirik jam tangan, jam 7:15. Ngga mungkin sepi. Toh, dari yang aku baca, bus Damri dari bandara berakhir di jam 10 malam. Tapi,....
Berkali-kali sopir taksi menawariku untuk antar ke tujuan, dengan membayar sejumlah argo tentunya. Tapi, tidaklah, aku masih berusaha untuk tidak naik taksi. Apalagi aku sendiri tidak tahu lokasi persis kampusnya Torgis. Berbekal google traffic, iya, aku paham rute ke kampus. Tapi, ini sudah malam. Bedalah suasananya. Ini bukan kota asalku. Apapun, harus hati-hati.
Selain #PlangBusDamri, tidak jauh dari situ ada shuttle bus. Aku buka lagi sms dari Torgis yang ia kirim sebelum aku berangkat ke Makassar. 'Bisa naik angkot di depan Bandara, bisa turun di depan kampus'. Setidaknya ia beri beberapa alternatif. Jadi, kalau plan A gagal, bisa pilih plan B. Dan aku memilih naik shuttle bus hingga ke luar bandara.
Aku sih tetap kecewa dengan komitmen layanan bus bandara yang sudah tutup sebelum waktunya. Bahkan, awak bus bandara yang aku temui saat makan sebelum naik shuttle bus pun, justru saranin naik taksi. Beuh!
Berusaha tenang dan kalem di kota lain, itu wajib. Tapi, suasana malam itu beda abis untukku.
Kurang dari 10 menit, shuttle bus sudah berada di ujung jalan bandara. Bersama seorang bapak yang mengaku memiliki tujuan sama, aku pun jalan mengekor menuju angkot. Dalam temaram lampu jalan, samar-samar aku cermati warna angkot dan nomer trayeknya. Persis apa yang diinfokan Torgis.
Bapak itu terus saja mengajakku ngobrol, dan tidak sepatah kata pun yang aku pahami. Dan berkali-kali pula ku tanya sopir rute ankot yang aku tumpangi. Masih kurang yakin, aku buka Samsung tab, klik google traffic, dan ku arahkan tujuanku ke kampus. Sejurus kemudian arah panah benar mengarah ke jalan poros. Posisi gerak angkot terpantau. Begitu juga mataku yang memantau keadaan. Riskan memang buka gadget. Tapi, ga ada pilihan. Cukuplah dengan hati-hati. Pasrah.
Dan jauh ternyata. Penumpang wanita persis di samping pintu, dengan sabar menjawab pertanyaanku, 'Masih jauh, Mas. Kalau sudah dekat saya kasih tahu'. Tampaknya ia pahami betul kalau aku risau dengan keberadaanku. Padahal, aku pun sudah tahu persis, sudah sedekat apa tujuanku saat ini. Warga lokal ini baik sekali. Sopir, pun termasuk bapak tadi. Dengan bercelana pendek dan kaos, plus sendal jepit, sudah menjelaskan siapa aku di kota ini. Apalagi ranselku yang menutupi sebagian bagian depan tubuhku. Di depan kampus, Torgis pun menjemputku, dan mengajakku masuk. Di sana ada beberapa mahasiswa lainnya. Ku diperkenalkan. Aku pun balik memperkenalkan diri, siapa aku dan tujuanku. Dan, yeaaaa, seniornya Torgis ternyata warga lokal #Toraja. Beruntungnya aku. Sejurus kemudian aku banyak tanya ini itu. Sebagian sudah ku ketahui, sebagian lainnya baru ku tangkap dari obrolan ini. Lebih ke rute dan pengembangan destinasi. Ini bagus. Meski, aku tergoda untuk melanjutkan perjalanan pasca ke Toraja di luar rencana, ke Palopo.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
0 komentar:
Post a Comment