Dari kampus, kami menuju pusat kota. Torgis menawariku untuk melihat kota Makassar di malam hari, sebelum ke rumahnya. Aku iyakan tawaran itu. Motor pun meluncur.
Sejauh ini, hanya Torgis dan Tuhan yang tahu arah motor. Pasrah dengan kondisi menikmati tiap persimpangan jalan. Aku memang sedikit bermasalah kalau tiba di sebuah kota dalam kondisi malam hari. Tak bisa meraba jalan, menerka rute. Singkatnya buta arah. Itu sebab, aku, kalau tidak terdesak, selalu memilih penerbangan, ataupun bus pagi. Entah, disebut traveller macam apa aku ini? Itu baru satu, masih banyak pengecualian yang aku terapkan saat dalam perjalanan. Tapi, bahasnya nanti aja. Kalaupun itu ingat.
Aku minta Torgis untuk singgah ke kantor biro, yang lokasinya memang searah dengan Pantai Losari. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan di kantor, utamanya konfirmasi sewa mobil milik teman. Tapi, hanya ada satpam. Aku urung masuk. Sisa komunikasi selanjutnya hanya via telepon, termasuk alamat penjemputan. Sementara pembayaran via transfer. Tapi, walau bagaimanapun, aku ingin anjangsana dengan teman-teman kantor. Tidak diwajibkan memang, tapi, merasa perlu. Ini, bisa menjadi keuntungan bekerja di sebuah perusahaan media yang notabenenya, punya perwakilan di setiap kota besar, bahkan kabupaten sekalipun. Sekedar salam, dan memberi tahu posisi. Toh, peristiwa apapun yang terjadi, siapa yang tau? Batere ekstra, telepon hemat batere, plus hands free selalu tersedia di kantong ransel.
Yang aku ingat kemudian, Torgis mengantarku menelusuri kawasan kota tua. Sebentar-sebentar ia jelaskan asal muasal lokasi tersebut. Pun saat kami melintas di kawasan Pecinan yang ternyata jaraknya tidak berapa jauh dari Pantai Losari. Banyak cerita yang ku dapat. Well, aku dapatkan teman yang tidak sekedar memberi tumpangan selama aku di Makassar, tapi juga teman yang tahu banyak tentang kotanya sendiri.
'Kenapa nggak ambil license untuk jadi tour guide? Bahasa inggris lo bagus. Tahu banyak tentang kota. Banyak interaksi dengan wisatawan asing. Jadi, ada sesuatu yang menghasilkan', saranku, saat kami kemudian memutuskan sejenak makan pisang ijo, di gang, persis di seberang Pantai Losari. 'Belum banyak ilmu, mas.' Jawabnya singkat.
Pantai Losari yang kulihat malam ini, jujur di luar harapanku. Atau mungkin aku terlalu banyak berharap dengan bentuk dan kemasan. Saat itu banyak perbaikan dan pekerjaan bangunan yang dilakukan. Tapi, yah, kalau sudah di Makassar, memang ada ritual khusus untuk lapor diri di Pantai Losari. Aku tidak menikmati suasananya. Dan lebih memilih terus ngobrol dengan Torgis. Sampai pada titik pembicaraan untuk mengajaknya gabung ke Toraja. Tapi, dia menolak, karena harus fokus ke ujian skripsinya, minggu depan.
Berarti pertemuan ku dengan Torgis hanya dalam ukuran jam saja. Besok pagi-pagi sekali, aku sudah harus berangkat ke Toraja. Dan ini kali pertama pula aku surfing atau menginap di rumah teman baru ku via couchsurfing.org. #Solotraveller yang tidak merasa sepi.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
1 komentar:
Catatan perjalanannya menarik, tidak seperti catatan perjalanan lainnya yang detail informatif. Yang ini, beneran laporan pandangan mata. Gayanya juga bertutur. Yaaa, curhat gitu sih sepertinya
Post a Comment