Sunday, August 31, 2008

divertimento?

Perjalanan enam jam dengan duduk di pesawat bukan sesuatu yang menyenangkan. Meski aku pun pernah menjalani penerbangan lebih dari 18 jam dengan kondisi transit yang berkali-kali plus badai gurun. Tapi perjalanan ini cukup unik buatku, tanpa berani berkhayal banyak rencana apa yang ku ‘ingin’. Tapi ini penerbangan malam. Hampir tengah malam. Minus lima menit dari angka 12. 8 pagi lewat 20, pesawat landing di Narita, Tokyo, Jepang. Cuaca pagi cukup cerah. Bahkan nyaris sama seperti yang diduga, kalau Tokyo cerah. Ini liputan luar negeriku ke dua, setelah Kualalumpur hampir setahun lalu. Bedanya, kala itu, aku bersama dengan camera person. Tapi, kali ini, aku menjadi single fighter. Kendalanya adalah, aku harus mampu mengorganisir diriku sebagai reporter plus camper a.k.a VJ. Dan itu gak mudah. Apalagi aku sendiri tidak banyak tahu medannya seperti apa. That’s why, aku akan murka sekali jika ada komentar, “wah enak banget lo pergi ke Jepang”, atau kalimat sejenis yang bernada sarkastik.

Kalau masalah mencari data, bukan masalah untukku. Aku punya cara dan metode sendiri bagaimana mengumpulkan data di tiap liputanku. Tapi, masalah bawaan yang extra berat ini yang menjadi permasalahan utama. Jam 10 lewat dikit. Aku cukup lega bisa melewati pabean dan imigrasi. FYI, sempat stuck di meja imigrasi, saat petugasnya menanyakan kamera yang aku bawa. Glek. Dia pakai bahasa jepang while aku nggak ngerti. Mau ngejelasin pakai bahasa inggris pun percuma.

Jadwal berubah. Aku tidak langsung ke penginapan. Tapi langsung ke Enoshima. Kurang lebih 2 jam lebih dari Tokyo. Dieu. Mental yang aku persiapkan sejak awal pendaratan berubah. Dengan perubahan rencana seperti ini berarti alat yang aku bawa di tas ransel harus di bawa semua ke lokasi. Sementara setengah isi tas ranselku, tidak akan aku gunakan sepanjang liputan di Enoshima. Dan kalau mampir di penginapan, berarti setengah alat bisa ku tinggal di kamar. Bencana pertama.

Sudahlah. Bencana pertama itu usai sudah menetap di kepalaku. Pemandangan sepanjang perjalanan cukup mengikis rasa kesalku. Gila....keren banget pemandangannya. Enoshima itu sendiri adalah pulau yang memiliki keindahan pantai. Dan gak perlu perahu mencapai lokasi tempat ini. Karena ada jembatan penghubungnya. Cukup dihayalkan saja. Bus melintas di kanan tepian bukit, sementara, sebelah kiri, pantai menghampar.

Tapi, nyatanya Cuma kamuflase. Coz hujan mengguyur sisa perjalananku. Imbasnya adalah ekstra perjuangan lagi. Bus berhenti di tempat parkir. Aku berpikir keras, menerobos hujan, tanpa merusak alat. Terpaksa harus realistis. Sebagian alat aku tinggal di bus. Agar kamera bisa aku masukkan ke tas ransel. Prioritas selanjutnya microphone dan ekstra batere, serta tripod.

Hujan dan medan yang mendaki. Lokasinya pun di atas bukit. Sepatu sudah ku lepas dengan sandal sejak di bandara. Kaos pun sudah ku ganti. Tripod besar dan tas ransel harus dibawa di tengah hujan. Jangan tanya bagaimana aku berpayung. Dan jangan tanya bagaimana aku melindungi kamera yang aku bawa. What next? Aku stress coz belum punya adaptor listrik untuk charge hp n batere kamera. Tak punya handuk pula.

Friday, August 29, 2008

mmmhhh....

Yang tersisa dari perjalanan di Tokyo, Jepang. 23-27 Agustus 2008

bel memoria in tokyo

Butuh lima tahun untuk kembali bertemu dengan mereka. Masih ingat banget ketika Miho nangis di pelukanku saat detik perpisahaan di Terminal Piazza Del Gramzi, Siena. Dan masih ingat pula ketika katakan kepadanya. "Ci sono sempre le possibilita nel nostra vita". Dan senin malam, 25 Agustus 2008 pukul 20:30, ucapan itu kuperdengarkan lagi ke Miho. Tak butuh waktu lama untuk Miho mengingatnya. Sisanya, hanya tertawa, terdiam, tertawa, saling diam, saling liat. Hanya itu yang kami lakukan sepanjang pertemuan kami. Ah, bagaimana perasaan ini tidak cemas. Malam pertama pertemuan ku dengan Takeshi gagal coz cuaca Tokyo tidak bagus. Sehingga, ia memutuskan untuk bertemu denganku keesokan harinya, dengan mengajak Miho. Takeshi yang tinggal dan bekerja di Tokyo sangat mudah bertemu denganku. Tapi, Miho, butuh waktu satu setengah jam perjalanan menuju Tokyo. Coz ia tinggal di Hiroshima.
Takeshi semakin membesar, sementara Miho yang kini berusia 24 tahun makin sintal dan seksi. Ia paling manja yang ku kenal selama kami tinggal di Siena. Dan binar matanya masih yang sama. Sementara Takeshi, lebih kalem. Banyak yang berubah. Ku akui itu. Tapi, aku benar merasa beruntung bisa kembali bertemu dengan mereka. Berpelukan, cium, pelukan, senyum, pelukan, saling tatap, dan berpelukan. Sebuah momen di mana kata-kata sudah tidak penting lagi. Dan 35 menit itu pun usai.

Thursday, August 14, 2008

mudah-mudahan ini bukan menjadi kebiasaan dengan jarang menulis my blog. Kalau diingat sulit sekali mengupdate bahkan transfer data blogger yang sempat expired. Dan sekarang setelah 'ditemukan' kembali justru disia-siakan. Sorry. Janji dech, kalau bakal terus update lagi.
Powered by Blogger.