Sunday, January 27, 2013

Makassar malam pertama (Part 4)

Dari kampus, kami menuju pusat kota. Torgis menawariku untuk melihat kota Makassar di malam hari, sebelum ke rumahnya. Aku iyakan tawaran itu. Motor pun meluncur.
Sejauh ini, hanya Torgis dan Tuhan yang tahu arah motor. Pasrah dengan kondisi menikmati tiap persimpangan jalan. Aku memang sedikit bermasalah kalau tiba di sebuah kota dalam kondisi malam hari. Tak bisa meraba jalan, menerka rute. Singkatnya buta arah. Itu sebab, aku, kalau tidak terdesak, selalu memilih penerbangan, ataupun bus pagi. Entah, disebut traveller macam apa aku ini? Itu baru satu, masih banyak pengecualian yang aku terapkan saat dalam perjalanan. Tapi, bahasnya nanti aja. Kalaupun itu ingat.
Aku minta Torgis untuk singgah ke kantor biro, yang lokasinya memang searah dengan Pantai Losari. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan di kantor, utamanya konfirmasi sewa mobil milik teman. Tapi, hanya ada satpam. Aku urung masuk. Sisa komunikasi selanjutnya hanya via telepon, termasuk alamat penjemputan. Sementara pembayaran via transfer. Tapi, walau bagaimanapun, aku ingin anjangsana dengan teman-teman kantor. Tidak diwajibkan memang, tapi, merasa perlu. Ini, bisa menjadi keuntungan bekerja di sebuah perusahaan media yang notabenenya, punya perwakilan di setiap kota besar, bahkan kabupaten sekalipun. Sekedar salam, dan memberi tahu posisi. Toh, peristiwa apapun yang terjadi, siapa yang tau? Batere ekstra, telepon hemat batere, plus hands free selalu tersedia di kantong ransel.

Makassar, akhirnya (Part 3)

Pesawat landing jelang malam, jam 7 waktu lokal Makassar (Indonesia Tengah)
Akhirnya, menginjakkan kaki di bumi Sulawesi. Senang. Dan sekejap kemudian kagum dengan Bandara Hassanudin ini, keren dengan disain minimalis, berkesan nyaman.
Aku kirim sms ke Torgis, teman baru dari couchsurfing, sekedar mengabarkan kalau aku telah tiba. Ia pun dengan senang hati memanduku menuju pusat kota via sms yang ia kirim balik. 'Dari bandara, ke kampus bisa naik Damri, nanti turun di depan kampus', begitu sarannya. Yup, kami memang punya janji ketemuan di kampusnya, sebelum lanjut keliling kota Makassar di malam hari, dan kemudian singgah di rumahnya.
Aku pun bergegas keluar terminal bandara dan tanpa susah payah aku temukan plang bertuliskan #BusDamri. Hanya plang, tanpa ada bus. Aku lirik jam tangan, jam 7:15. Ngga mungkin sepi. Toh, dari yang aku baca, bus Damri dari bandara berakhir di jam 10 malam. Tapi,....
Berkali-kali sopir taksi menawariku untuk antar ke tujuan, dengan membayar sejumlah argo tentunya. Tapi, tidaklah, aku masih berusaha untuk tidak naik taksi. Apalagi aku sendiri tidak tahu lokasi persis kampusnya Torgis. Berbekal google traffic, iya, aku paham rute ke kampus. Tapi, ini sudah malam. Bedalah suasananya. Ini bukan kota asalku. Apapun, harus hati-hati.

Saturday, January 26, 2013

Toraja seorang diri (Part 2)

Toraja itu eksotik! Toraja itu luar biasa! Kalau sudah ke Toraja pasti keren!
Ah, proses ke Torajanya yang ga semuda menyebut diri keren, luar biasa kalau sudah injakan kaki ke sana. Proses, brow! Apa yang dilihat? apa tujuannya? Rute mana yang diambil? Pelajari pula adat dan kebiasaan warga lokal. Toh, travelling tidak sekedar keluar rumah, tapi, juga temukan sesuatu yang membuat diri jadi beda. Apa itu? Setiap orang pasti punya misi, kan?
Kurang dari 2 minggu itu, aku banyak belajar terkait dengan Toraja. Bukan hanya adat istiadat warga lokal, tapi juga tipografi jalan, peta kota, transportasi, rute, dan lingkungan. Semua ku lahap. Aku hanya ga mau gagal dalam perjalanan ini. Semua informasi aku lahap, karena ini kali pertama perjalanan ku ke Toraja, dan utamanya ke pulau Sulawesi. Toh, uang yang aku keluarkan juga tidak sedikit. Itu sebab, aku benar-benar pahami keadaan. Banyak tanya lah, dengan orang-orang yang pernah injakkan kaki ke Toraja.
Komunitas perjalanan itu erat kok, hubungan emosionalnya. Percaya deh.
Dari informasi yang kudapat, aku kemudian membuat itineraire untuk 6 hari perjalanan. Waktu tempuh, ku perhitungkan cermat. Jam bangun pagi. Jam sarapan, berangkat. Jatah waktu makan siang, porsi istirahat diperjalanan, sampai peta perjalananpun aku cetak. Jarak tempuh kilometer dan jamnya aku catat. Detail se detail-detailnya. Buat apa? Kan lagi liburan? Oke, liburan pun harus disiplin.

Sulawesi pertama kali (Part 1)

Bisa jadi kali ini adalah rencana perjalanan yang membuat aku labil. Tiket Jakarta - Kinabalu yang telah ku beli hampir setengah tahun lalu, batal ku gunakan. Alasannya, karena kurang dari sebulan, aku belum juga dapatkan tiket yang terjangkau. Tiket balik dikisaran 350 MYR. Padahal tiket ke Kinabalu saat itu ku beli di harga 150K IDR.
Bukan aku kalau tidak bisa utak-atik rute, meski harus menggunakan connecting flight, ke KL kemudian Jakarta. Atau ke Singapura kemudian Jakarta. Atau ke Penang terus ke Jakarta. Tapi, lagi-lagi buntu. Harga tiket masih diluar jangkauanku. Kalau dihitung-hitung, yah, sama aja, 400 MYR. Rugi menurutku. Logis.
Belum kelar urusan tiket, aku juga utak atik urusan hotel. Nah, hotel yang aku gunakan selama di KK pun (Kota Kinabalu) tidak strategis, jauh dari pusat kota. Memang sih, disediakan shuttle bus. Tapi, urusannya jadi ketergantungan. Jadwal pun terbatas. Well, meski dapat harga yang super murah pun, aku, pada akhirnya batal menggunakan. Utak atik waktu, durasi perjalanan. Ga masuk di logika ku. Walhasil, perjalanan ke KK pun aku merugi. Nominalnya berapa? 450K IDR. Aku putuskan dan tekad bulat, batal, agar tidak merugi terlalu besar. Cukup lah. Dan aku kemudian bersiasat. Kemana?
Sabang? Beuh, waktu kian menipis dari jadwal cutiku. Kurang dari sebulan. Belum riset, belum buat itineraire. Panik.

Saturday, January 19, 2013

Relawan Cerdas Emosi

Pada akhirnya, aku melipir jauh dari lokasi tujuan semula ku, saat memutuskan keluar rumah siang ini. Tidak hanya terpaut jauh dari lokasi, tapi juga terpaut perbedaan suasana.
Awalnya, ku akan duduk santai menatap layar untuk sebuah acara rilis film pendek teman baikku. Namun, ajakan teman lainnya, memaksa aku berkutat dengan popok, celana dalam, susu, buah, mainan anak, dan terpal.
Toh, nyatanya, ajakan yang tidak bisa ku tampik. Ini menyenangkan hati.
Satu persatu teman datang ke sebuah grosir, menghabiskan uang untuk keperluan pengungsi yang dikira akan membantu. Hasil saweran. Spontanitas.
Berkadus-kadus dikemas dan langsung di bawah ke lokasi posko. Ada yang mengkoordinir memang. Aku hanya sekedar partisan, yang kemudian mati gaya.
Begitu banyak orang di berbagai posko. Baik dari kelompok komunitas, maupun lsm. Kemudian aku berpikir, tidak perlu ngotot berbuat kebaikan. Mungkin, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengulurkan tanganku. Serahkan tangan-tangan Tuhan lainnya yang bekerja terlebih dahulu. Jika mungkin sempat dan diijinkan, akan ada waktunya.
Powered by Blogger.