Monday, November 28, 2011

Syukur

Ga cukup dengan hanya mengatakan kata 'iri' itu adalah hal yang manuasiwi. Itu bukan alibi membenarkan diri, atas apa yang sebenarnya, diri kita juga memiliki. Lantas tinggal bagaimana kita bisa memaknai dan mensyukuri apa yang telah kita punya.
Tak pernah merasa bisa cukup memang, tapi, dengan iri terhadap kesederhanaan rejeki orang lain, adalah juga salah. Pernah kita bisa melihat dari dua sisi, seberapa kecil yang orang lain miliki? lalu kenapa dengan kecil rejeki yang kita anggap terhadap orang lain itu, justru membuat kita iri, bahkan, rasanya ingin juga memiliki?
Salahkan diri jika begitu, jangan salahkan, apalagi mengusik kebahagiaan orang lain yang sedang menikmati rejeki itu. Dan jangan pula harus menyakiti dengan kata-kata serta mengintimidasi. Itu sesungguhnya yang teramat kejam yang dilakukan seorang manusia terhadap manusia lainnya. Apalagi jika rejeki yang dimilikinya jauh lebih besar dari orang yang dihina. Itu biadab.
Kata-kata sederhana yang kerap mungkin dilontarkan adalah, "enak banget lo". Well, enak atau tidaknya sebuah rejeki itu kan berbalik lagi, bagaimana kita mensyukuri nikmat yang ada. Semua ada porsinya, dan semua sudah diatur. Tinggal bagaimana kita bijak menghargai harta, kesenangan dan lainnya. Jangan sampai kemudian kita dianggap berusaha mencuri kebahagiaan orang lain, 'harta' orang lain, padahal itu bisa dijauhi.
Lalu bagaimana kamu menentukan sikap?

Thursday, November 10, 2011

Hari ini setahun lalu #Merapi

Lembar cuti telah di ACC manager sebulan lalu. Sementara, tiket pesawat telah dibooking 3 bulan sebulannya. Ini beneran liburan yang amat terencana. Kecuali hotel, persiapan lainnya telah disusun. Bahkan itineraire, dan buku panduan liburan pun sudah siap. Yup, jelang ulang tahunku, aku mau liburan ke Jogja.
Namun, rencana itu berangsut kian suram. Status merapi tiap harinya kian ditingkatkan. Yang menjadi kekhawatiran utamaku adalah jika keadaan tidak kunjung membaik, maka, mau tidak mau penerbanganku dibatalkan. Memang ini kasus force major. Semua biaya yang dikeluarkan akan diganti (baca: refund) oleh maskapai. Tapi, itu tak begitu saja mudah untukku membatalkan perjalananku ke Jogja.

Saturday, November 05, 2011

Relung (Part 14)

Ku hempaskan tubuh ku ke kasur yang sudah 2 minggu tidak ku tiduri.
Ku tarik nafas dalam-dalam, mencari udara segar dalam kamar.
Ku tidur berbantal lengan, menatap langit-langit kamar.
Berat mataku. Ingin segera tidur. Tapi, sebentar lagi maghrib. Pamali kata orang tua kalo tidur saat maghrib. Entah apa yang menjadi pantangannya. Tapi, sepertinya gak terlalu berat untuk menjalankan larangan itu.
Sudahlah, menahan kantuk untuk beberapa saat nggak jadi masalah.
Aku bergegas ke kamar mandi.
Aku merasa kurang segar kalo belum mandi. Apalagi setelah menempuh perjalanan jauh. Debu. Keringat. Lengkaplah.

Relung (Part 13)

Stasiun Tawang pukul 07:30 pagi. Meski hanya membawa satu ransel, tapi tetap ada yang membebaniku.
Ugh, Bu Sri, secara diam-diam ternyata memberiku oleh-oleh untuk ku bawa ke Jakarta.
Aku sendiri nggak tahu kapan Bu Sri belanja oleh-oleh ini. Yang jelas, wingko babat dan bandeng presto sudah membuat tangan kanan ku gontai dan hilang keseimbangan.
Akunya yang nggak tahu diri. Sudah menumpang, tapi tidak memberi balasan yang berarti.
Kapan waktu ke Semarang aku harus mampir ke tempat Pak Suryo dan Bu Sri.
Bunyi peringatan penumpang berbunyi. Aku segera bergegas masuk ke dalam gerbong kereta Kamandanu yang akan membawaku kembali ke Jakarta. Di lorong gerbong aku mencoba mencocokan karcis kereta dengan mata melihat nomor kursi.
Ah, ku dapati juga akhirnya. Pfuih, kantong oleh-oleh aku letakkan di atas. Sementara tas ransel aku biarkan diletakkan di bawah kursi. Duduk di tepian dekat kaca. Posisi bagus untukku, karena aku bisa melihat pemandangan siang pantai utara Jawa.
Saat aku mulai bersandar, dari kejauhan aku dengar suara yang cukup menarik perhatian seluruh penumpang gerbong ku. Mengganggu ketengangan penumpang lain saja, keluhku.

Relung (Part 12)

Pertemuan terakhir dengannya itu semakin menegaskan posisi ku di hadapannya.
Berkali-kali memang ku katakan ‘cukup dan tidak lagi’. Aku hanya perlu waktu untuk sembuh. Dan menjauh darinya adalah salah satu jalan yang aku pilih. Dan berhasil. Ia tahu yang aku inginkan.
Satu minggu ini tak ada lagi telpon darinya, sms sekalipun tak ia kirim. Memang bukan yang aku harapkan. Baik juga untuk dia. Untuk memperbaikin hubungan yang ia miliki. Tak ingin ia berpaling hanya untuk seorang aku.
Dan keberadaan ku di Semarang saat ini benar-benar ku manfaatkan untuk diriku sendiri. Menenggelamkan ku pada kesibukan yang aku punya.
“Besok jadi pulang, Den?” tanya suara di belakangku.
Aku palingkan kepalaku.
Ibu Sri berjalan ke arahku, sambil membawa secangkir kopi ukuran besar.
Perlahan ia berjalan.
“Iya, Bu. Sudah cukup materi yang harus saya bawa ke Jakarta.”
“Naik pesawat jam berapa?”
“Besok naik Kamandanu yang pagi. Nggak buru-buru ke Jakarta. Jadi, saya pilih naik kereta aja. Lebih santai”
“Bukannya enak naik pesawat?”
“Lagi gak ingin, Bu”.
“Den ini aneh. Seumur-umur ibu ingin naik pesawat. Eh, Den Bimo malah gak kepingin. Ya udah. Ibu tinggal tidur yah. Ini kopi buat Den Bimo. Besok pagi, biar Bapak aja yang antar Den Bimo ke Tawang”.
Bu Sri duduk di hadapanku sambil meletakkan segelas kopi ukuran besar. Wuih, doping agar aku terus terjaga.

Relung (Part 11)

“Bimo”.
Suara itu.
Seperti terhipnotis, seketika itu juga aku hentikan langkahku. Rio yang berada di depanku menghentikan langkahnya juga.
Aku menolehkan kepala.
“Kenapa, Bim?” tanya Rio.
Aku nggak menjawab.
“Kamu”.
Sebuah kebetulankah bertemu dengannya?
“Kamu kenapa? Kok pake kruk gitu?”
Aku nggak menjawab.
“Rio, lo duluan dech, gue nyusul”.
“Oh, oke. Tapi, yakin gak apa-apa?” tanya Rio memastikan.
Aku hanya mengangguk meyakinkan.
Rio berlalu.
Kini hanya aku dan dia. Berdiri kami berhadapan.
Tatapannya seakan menelanjangiku. Matanya bergeming menatapku lekat dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Aku menatapnya kosong. Tanpa ekspresi sekalipun.
Tak ada waktu. Harus segera cabut. Sekarang juga.
Powered by Blogger.