Saturday, November 05, 2011

Relung (Part 11)

“Bimo”.
Suara itu.
Seperti terhipnotis, seketika itu juga aku hentikan langkahku. Rio yang berada di depanku menghentikan langkahnya juga.
Aku menolehkan kepala.
“Kenapa, Bim?” tanya Rio.
Aku nggak menjawab.
“Kamu”.
Sebuah kebetulankah bertemu dengannya?
“Kamu kenapa? Kok pake kruk gitu?”
Aku nggak menjawab.
“Rio, lo duluan dech, gue nyusul”.
“Oh, oke. Tapi, yakin gak apa-apa?” tanya Rio memastikan.
Aku hanya mengangguk meyakinkan.
Rio berlalu.
Kini hanya aku dan dia. Berdiri kami berhadapan.
Tatapannya seakan menelanjangiku. Matanya bergeming menatapku lekat dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Aku menatapnya kosong. Tanpa ekspresi sekalipun.
Tak ada waktu. Harus segera cabut. Sekarang juga.
“Kamu kenapa, Bim?”
“Seperti yang kamu lihat. Dah jelas, kan? Aku sekarang pakai alat ini untuk berjalan”.
“Karena?”
Aku tak menjawab.
“Aku ditunggu teman-teman di atas. Aku nggak enak. Aku harus segera ke sana”.
“Bim, kamu kenapa sih? Jawab dulu dong pertanyaanku”
“Aku tertabrak mobil saat naik motor. Kaki ku patah dan sekarang lagi fisioterapi”.
“Kapan?”
“Aku rasa cukup informasi yang aku kasih ke kamu”.
“Tapi...”
“Waktunya nggak tepat. Next time aja”.
Aku berlalu tapi terhenti.
“Dan nggak akan ada next time, kan, Bim? Aku yakin itu. Kamu nggak akan beri itu”.
Aku nggak menjawab.
“Terima kasih yah, kamu sudah membuat kita jadi pusat perhatian pengunjung”. Ucapku perlahan menahan kekesalan. Menyindirnya? Sudah barang tentu.
Dia terdiam, sama halnya dengan ku.
Nggak nyaman rasanya ketika menyadari semua orang melihat kami dengan pandangan yang..... Pfuih. Hey, i’m not an actor that you can see on tv everyday!!! I’am just an ordinary people!!!!
Untuk pertama kalinya kami berjalan beriringan. Bukan sepenuhnya inginku. Dia berusaha bantu aku berjalan. Aku mengelak.
Damn, kenapa harus di Plaza Semanggi?
Sudahlah. Sudah terlanjur basah. Di manapun nggak akan membantu. Cuma pergi dari hadapannya yang bisa bantu aku bisa bernafas lega.
“Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Bim. Meski aku harus melihat kamu berjalan dengan kruk ini” ucapnya memecahkan kebekuan kami. Nggak penting juga.
“Tiga minggu lalu kejadiannya saat mau ketemu dengan kamu di Setiabudi”. Ucapku datar sambil berusaha cari sandaran.
Kini dia berdiri di hadapanku. Ya, tepat di hadapanku.
“Iya, beberapa menit lagi untuk bisa ketemu kamu dan kecelakaan itu terjadi”.
“Bim!”
Dari nadanya aku paham kalau dia terkejut.
Berpengaruhkah?
“Sudahlah, nggak apa-apa. Aku yang kurang berhati-hati dan terlalu memaksa tukang ojek itu untuk ngebut”.
“Maafkan aku kalau kamu ternyata benar-benar menuju ke sana. Yang ada dipikiranku justru...”
“Iya, kamu akan selalu salah menilai aku. Selalu saja salah”.
Aku membetulkan posisi sandaranku.
“Aku berusaha mencari kamu setelah itu. Tapi aku nggak bisa hubungi kamu”
“Ponselku dicuri saat kejadian itu. Aku harus pergi”.
Aku beranjak dari posisi sandaranku dan siap melangkah.
“Bim!”
“Aku rasa semuanya sudah jelas. Aku mohon. Aku dah kabulkan keinginan kamu untuk bertemu denganku. Tapi, please, jangan minta lebih dari ini. Aku nggak mau teman-temanku menunggu lama”.
Aku berlalu dan meninggalkannya.
Aku pejamkan mata dan bernafas dalam-dalam.
Lega.
Akhirnya.
Namun.

0 komentar:

Powered by Blogger.