Friday, March 31, 2006

Tes itu akhirnya ku lalui pula, meski awalnya hasil tes tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tapi nyatanya, setelah keberhadapan langsung dan mempertanggung jawabkan hasil tes itu, maka ku bisa mengatakakan, ternyata tidak seburuk yang mereka kira. Bahkan, alam bawah sadar dari tes itu menyebutkan, sebagai seorang pekerja, aku termasuk orang yang ulet, rajin, cekatan, dan teliti. Meski secara performance, menurut tes itu aku kurang percaya diri. Watz???? Tanda Tanya besar untukku. Seorang aku, masih pula dibilang kurang percaya diri??? Lalu selama ini yang aku lakukan, selama ini pula siapa aku berhadapan, tidakkah itu juga bisa dilihat. Aku tak ragu dengan caraku berkomunikasi dengan orang lain. Aku pula tak ragu bagaimana menghadapi orang siapapun dia. Tapi aku akui kalau aku memang kurang percaya diri ketika dengan hanya memakai seragam hitam putih ini. Tidak ada achievement untukku, meski aku sudah melakukan semuanya dengan maksimal. Bahkan job desk yang sebenarnya bukan untukku, aku pula yang take over. Tapi apa? Jujur, aku merasa terintimidasi dengan keadaan. Tak bisa berbuat banyak karena baju itu. Tak bisa menuntut banyak karena batasan itu. Di sisi lain, aku toh tidak memperhitungkan jam kerja yang overlap, asal program terus berjalan, aku senang. Aku pun tidak keberatan jika harus melakukan itu semua, karena aku senang melakukan itu. Itu semua sudah menjadi jiwaku. Selelah apapun aku, sejauh kondisiku sehat, aku lakukan itu. Tapi, tidakkah disadari, kalau aku merasa dibedakan!!! Akupun butuh penghargaan. Tidak hanya aku kupikir. Semuanya merasa membutuhkan itu. Dan aku butuh pengakuan dan achievement. Salah??? Dan kenapa kemudian aku yang dipersalahkan? Aku kemudian, yang lagi-lagi merasa terintimidasi dan terkalahkan dengan umpatan. Tidakkah pula dirasakan kalau keadaan itu kemudian justru membuatku semakin merasa tidak berhak dengan inginku. Dengan kesabaran, lelah, tangis, semua itu kujalani dan kurasakan. Salahku aku jika ku kemudian lelah di satu titik itu?

Mungkin bukan kali ini saja aku merasakan cinta yang tidak mungkin. Mungkin pula bukan kali ini saja aku merasa ada sesuatu yang tidak mungkin ku miliki. Bukan karena cinta tak berbalas. Tapi karena aku tidak ingin berusaha keras untuk memiliki. Hingga kemudian rasa itu kubiarkan pergi begitu saja. Ah, mungkin hanya perasaan sesaat saja. Itu pula yang mungkin kutakutkan. Aku tidak ingin satu keajaiban datang untuk menjawab perasaan itu. Dan aku pun tidak ingin memaksakan hendak ini lebih dalam. Biar saja. Pasti ada waktunya.

Wednesday, March 29, 2006


Perjalanan hari itu tiba-tiba tidak menjadi nyaman. Lelaki paruh baya itu serentak masuk, menghardik, dan mengeluarkan umpatan kepada kondektur. Tidak tahu, hanya aku sajakah yang kemudian beralasan menjadi risau dan kecut. Ataukah masih ada penumpang lain yang merasakan hal sama pula?
Perjalanan lima belas menit kemudian yang terdengar hanya umpatan, dan lagi-lagi hardik dari mulutnya. Sempat buatku kemudian kecut. Nafsu untuk kemudian turun dan beralih kendaraan lain. Nafsu itu pun tak terbendung lagi.
Lelaki paruh baya itu terus saja mengumpat dengan kisah pilu masa lalunya. Sampai aku pun sulit mencerna apa yang dirasakannya. Tidak bisa berbagi pikir, karena masih saja ada kecut dan takut.
Dan lima belas menit selanjutnya, ia turun dengan kantung penuh uang. Ia berhasil.

Monday, March 27, 2006


Aku tidak tahu apa yang ada di benakku sesungguhnya. Ku hanya lelah dan bernafsu segera tidur. Dua malam ini kupaksakan diri untuk bekerja. Dan tidur di saat orang harus bekerja. Tapi aku harus melakukan itu. Setidaknya ada yang bisa ku kerjakan lepas tengah malam itu. Di dua malam terakhir akhir weekend ini. Entah kenapa, seberapapun aku lelah melakukan pekerjaan itu, aku menikmati setiap detik dan setiap gerak tubuhku. Terutama jika tidak ada yang mengganggu dan total semua konsentrasi tak terbagi. Aku menikmatinya. Bekerja dan bekerja dan membiarkan orang-orang menimmati hasil pekerjaanku, tanpa mereka tahu siapa di balik itu semua.
Dan weekend ini, aku kemudian hanya bisa memanjakan diriku. Musik, film, computer, tv, games, dan internet. Semua itu jadi temanku di kala weekend. Ketika jenuh, ku bunuh suntukku dengan sedikit perjalanan dan menyantap makanan kaki lima. Goreng ayam, juz sirsak dan sedikit pemandangan. Semua ku nikmati tiap detik yang aku punya. Cool. Bahkan ketika ku kembali, sudah banyak foto di picasa. Missing a lot of think in my behind. Ah?..banyak yang masih bisa kurindukan, tapi banyak pula yang harus ku lalui setelahnya. Hanya bisa tersenyum dengan yang aku punya dulu, dan bangga apa yang telah aku dapatkan dan ku lakukan. Tidak pernah seperti ini.
Aku nikmati yang aku punya. Kebebasan berpikirku. Keleluasaan gerakku. Tidak pernah seperti ini. Bahkan ketika ku melukai seorangpun, ku anggap itu bagian kecil dari apa yang ku jalani dan refleksi dari apa yang pernah ku alami. Tidak akan pernah ada yang adil. Bukan karena kekerasan hati dan kebesaran ego atas semua yang ada. Hanya saja, menurutku, kita tidak bisa memilih dua sisi yang kita punya. Apalagi jika harus menyangkut perasaan dan masa depan. Tapi, apakah perasaan bisa membeli masa depan? Apakah perasaan juga membantu memperbaiki keadaan? Mungkin saja pikirku seperti ini saat ini. Tapi ketika kutemukan sandaran yang tepat, ku yakin aku pun tidak akan mau membayar mahal jika kemudian tidak sebanding dengan yang aku korbankan. Karena, aku bertanggung jawab atas diriku sepenuhnya. Dan ku tak yakin ada seseorang yang bisa. Ku hanya coba bertahan hidup dari himpitan yang ada. Mencari sedikit cela. Memanfaatkan sedikit kemampuan dan kesempatan yang aku punya. Tidak lebih. Coba kembali bangun kepercayaan atas orang lain, tapi tidak memaksa orang lain percaya akan aku. Biar saja. Ku tak memaksa. Aku hanya coba lakukan yang terbaik, meski aku tidak tahu, apa sebenarnya yang terbaik untuk mereka, dan apa yang mereka inginkan dariku. Bicara saja apa adanya. Komunikasikan saja. Tapi dewasalah dengan segala ucapmu. Tidak peduli siapa dan berapa usiamu. Tapi aku cukup tahu, seberapa layak dirimu ku hormati. Dan seberapa pantas ku menilai tiap kata yang diucapkan untukku. Dewasa saja. Karena aku juga akan ambil sikap dewasa dengan kata dan sikapku. Gimana? C?est juste!!!!
Depok. Letaknya di selatan Jakarta. tidak susah buatku menjelajah kota itu. Setengah jam berkendara angkot dengan ongkos 2000 perak, aku bisa langsung menjelajah sepanjang jalan Margonda itu. Apapun bisa ditemukan dengan mudah, sepanjang mata ini menjelajah lurus jalan itu.
Yang unik adalah, tidak ada cela pertokoan yang tidak memiliki cyber café. Layaknya kacang goreng, maka cyber café di sepanjang jalan Margonda semudah itu pula ditemukan. Mulai dari sekedar surfing, sampai menggunakan webcam. Dari bilik cyber yang terbuka sampai yang benar benar private room pun tersedia. Billingnya pun standar 5000 rupiah per jam. Kecepatan aksesnya pun jangan ditanyakan lagi. Coba saja di daerah kober. Tepat sepuluh meter dari gapura selamat datang kota Depok. Di situ ada beberapa cyber café. Beberapa di antaranya bahkan buka 24 jam. Wex. Persaingan tampaknya sudah bukan barang langka bagi para pemilik cyber café. Coba tengok saja, beberapa cyber café bahkan terletak bersebelahan dengan yang lainnya. Dan kalau mau sedikit ke selatan Margonda, maka sepanjang jalan itu pula mudah ditemukan cyber café. Tapi, makin ke selatan maka jumlah cyber café pun berkurang. Bahkan, lepas Gramedia jarang sudah ditemukan.
Kalau bisa dibilang mungkin untuk mencari teman ngobrol di lokasi ini tidak perlu usaha keras kok! Jadi, kalaupun berjalan seorang diri di Margonda, jangan pernah merasa sendirian. Alone bukan berarti lonely kan??? Mampir saja sejam dua jam di cyber café. Kemudian buka kanal chatting di MiRc atau di yahoo messenger. Modal berani dan open minded maka tidak akan sulit menemukan teman ngobrol. Atau mau lebih???
Lalu lalang orang-orang yang ada pun punya karakteristik khusus. Mereka semua anak kuliahan. Nah, ini beda lagi. Kalau di Paris mungkin lokasi ini bisa disamakan dengan Quartier latin-nya Paris. Patut dimengerti kalau sepanjang jalan Margonda memang pusat pendidikan. Dan akan bertambah panjang jika di tambah dengan sepanjang jalan raya lenteng agung. Sejumlah sekolah dan kampus berlokasi di lokasi yang juga tidak berjauhan. Kondisi ini berimbas pada banyaknya rumah kos di lokasi itu. Maklum aku sendiri alumni dari salah satu SMU negeri di sana. Wex!!!!
Sebenarnya kalau mau ke jalan raya Margonda tidak hanya dilalui bus dan angkot saja. Alternative lainnya bisa dengan naik kereta listrik. Coba turun di stasiun UI atau Pondok Cina. Maka dapat ditemukan surga bajakan software komputer ada di situ. Super lengkap. Tidak hanya software program bajakan, tapi juga memanjakan para freaky game dan juga movie mania yang suka dengan dvd bajakan. Satu keping lima ribu perak. Mmmmmh murah meriah dibanding software program yang asli berlisensi. Tapi, jangan kalap mata dulu untuk membeli software bajakan itu. Coba dech duduk di sepanjang stasiun kereta UI. Nggak usah munafik untuk tidak mau melihat kanan kiri orang yang duduk di sebelah. Banyak barang bagus. Tahu kan maksudnya??? Sudah dech. Pfuih. Jangan lupa di peron ke arah Jakarta ada warung kecil yang menjual juz sirsak. You have to taste it before leaving Depok. Nikmati beberapa penganan yang ada di stasiun itu. Kalaupun ingin penganan yang lebih beragam, Margonda punya banyak pilihan. Harganya pun tidak terlalu mahal. Makanan kaki lima sampai restoran steak, semuanya dengan mudah memanjakan nafsu kuliner.
Bisnis di lokasi sepanjang jalan ini sepertinya tidak ada habisnya. Apa saja bisa dijadikan bisnis. Misalnya, cyber café, kos, café, jajanan, rental komputer, dan fotokopi center.
Yang hangat sekarang adalah pusat perbelanjaan. Sudah tidak lagi jaman Ramanda Depok yang sempat Berjaya sepuluh tahun lalu. Depok Plaza, Mal Depok pada akhirnya memaksa toko itu gulung tikar. Bahkan kini wajah usaha itu berganti dengan usaha bengkel. Mmmmmhhh jangan lupa, Margonda juga pusatnya usaha jual beli mobil bekas. Tapi, di banding usaha jual beli mobil bekas, tampaknya pusta perbelanjaan di lokasi ini tidak kalah maraknya. Mulai dari ITC, Town Square, Carrefour, Giant, Hypermart, gila bersaing. Longok saja pertokoan Giant di Margonda City Square dongak menghadap Hypermart di Depok Town Square. Bahkan ITC dekat dengan terminal Depok saja santai bersaing dengan Carrefour.
Depok Plaza dan Mall Depok? Mungkin saja nasibnya tidak akan berlangsung lama. Layaknya Ramanda dulu. Satu-satunya keistimewaan yang di miliki Depok Plaza mungkin karena adanya Cineplex 21. Tapi, itu pun tak akan menjadi istimewa tatkala Depok Town Square memadukan one stop shopping dengan Cineplex 21-nya. Cukup unik untuk Detos, karena pertokoan ini juga memadukan konsep apartemen di dalam kawasan pertokoannya. Konsep lama yang pernah dibuat pendahulunya, sebut saja Mall Taman Anggrek. Bahkan sebuah stasiun dibangun khusus untuk akses kemudahan transportasi. Tidak jauh dari lokasi itu, sebuah konsep rumah tinggal bergaya apartemen yang dulu mungkin alergi untuk sebagian warga, justru dibangun, Margonda Residence. Seperti layaknya magnet dengan kekuatan penuh, maka areal lobi dan parkiran depan kedua lokasi pertokoan itu telah menjadi tempat tongkrongan baru warga Depok yang kebanyakan para remaja.
Depok Plaza dan Mall Depok kemudian menjadi tidak ada apa-apanya, mungkin. Melihat MC2 atau Margonda city square, bisa jadi penduduk Jakarta yang ingin plesir tak ingin terlalu jauh merangkak di tengah kemacetan Depok saat ini. Detos dan MC2 bisa pula menjadi jawaban. Dan Depok Plaza dan Mall Depok? Kemungkinan tidak akan menjadi kebanggaan warga Depok lagi seperti dulu.
Depok dulu dan Depok sekarang jelas sudah berubah. Wajah kemacetan makin tampak. Kalau mau dipersempit bahkan Margonda sekarang sudah berubah jauh. Untung saja, gaya hidup bersahaja warga asli masih bisa bernafas di tengah tumbuhnya gaya hidup metropolis. Di sepanjang jalan Margonda itu buktinya.
Tapi semua itu menyisahkan seorang pedagang kerak telur di dekat toko buku Gramedia yang masih saja bertahan ada. Kalau ingin menemukan kesederhanaan Depok dan jalan Margondanya, coba dech ngobrol dengan bapak pedagang kerak telur itu. Toh idealisme hidup masih bisa ditemukan. Bukan karena himpitan ekonomi dan juga bukan karena tidak ada pilihan lain. Lantas apa? Coba deh berpikir sederhana. Ada sebagian orang yang pasrah dengan keadaan dengan coba get real dengan keadaan. Tapi ada juga sebagian orang lainnya yang terkesan maksa hidup dengan kelayakan yang semu. Tapi jelas tak berguna. Sekedar potret tempat di mana aku bisa dan biasa melarikan diri berjam-jam di satu jalan bernama Margonda. Margonda di antara realita kehidupan kaum sub urban.

Wednesday, March 15, 2006


Malam itu hanya kesendirian yang aku rasa. Perjalanan jauh malam kemarin tidak cukup juga buatku lelah hentikan langkahku. Bahkan langkah ini kemudian semakin menjauh. Tidak hanya jarak, tapi batas toleransi yang aku punya. Semakin dalam dalam tiap kata yang ada. Semakin dalam pula batas toleransi yang seharusnya bisa dibendung. Tapi, perjalanan jauh malam kemarin itu akhirnya mampu tinggalkan arti baru dan aku yang baru. Tersadar hingga keesokan pagi. Meski matahari pagi itu belum melihat apa yang telah diperbuat olehku. Dan menjelang pagi itu yang ada hanya track lurus perjalanan dan aku, juga udara dingin pagi itu.

Aku coba untuk kemudian berhenti sejenak dalam ikatan hati ini. Dan kemudian coba untuk bisa berdamai dengan hati. Mendengarkan kata hati dan melihat dengan mata hati di sepanjang perjalanan ini. Dan kemudian aku coba kembali untuk melihat kebenaran pada perasaan yang aku punya. Hingga pada akhirnya aku merasa sudah saatnya aku kembali dengan kesendirian dan menikmati apa yang kumiliki sendiri. Tanpa kembali lagi berbagi. Maaf jika kemudian ini terjadi. Ku tahu yang terbaik dalam hidupku. Ku tidak ingin hentikan asa dan cita dengan persoalaan yang berpeluang buatku kembali ke titik awal. Bukan kemudian rasa ini membeku untuk berbagi. Ada waktunya kemudian ku bisa kembali berbagi dan bertanggungjawab dengan perasaan yang aku punya. Bukan karena perasaan yang sesaat.

Saturday, March 11, 2006

Hujan sore ini seakan membalas matahari jakarta yang menyerang selama tiga hari. Pfuih... cukup deras. Bahkan setengah jam saja, banjir kemudian menggenang. Sudah tiga jam aku berada di luar rumah kini. Membetulkan CPU computer yang frozen ke cyber cafe milik teman tidak jauh dari rumah.
Langit memang sudah mendung, bahkan usai dari cyber cafe, gerimis sudah menampakkan diri. Langkahku tidak begitu saja terhenti. Bahkan perjalanan sore ini masih kulanjutkan. Berjalan di tepian jalan yang semakin becek. Melihat banyak objek.
Semakin deras hujan, semakin banyak orang pula yang kemudian bergegas. Koran edisi sore itu pun kemudian basah. Pangkalan ojek di pertigaan jalan pun kemudian sepi. Lapak pinggir jalan itu pun kemudian ditinggal dengan hamparan plastik di atasnya. Seketika semua bergegas. Hujan itu ternyata tidak menghapus debu jalan selama tiga hari ini saja.
Aku yang kini kemudian berada di dunia maya. Kaca samping kananku paksa aku melihat langit sudah gelap. Aku yang kini lebih banyak menyendiri belum bisa menegur hatimu untuk menyatakan ketidakinginanku lagi padamu.

Tuesday, March 07, 2006

Aku yang tiba tiba merasa jengah. Entah kenapa semuanya di luar perkiraanku. Dan entah kenapa kemudian mereka yang terlalu sensitif. Merasa terhina dengan sosok seperti aku. Siapalah aku ini? Tapi, kenapa ku harus dapatkan umpatan yang tak pantas? Kenapa pula aku dengar teriakan memojokkan itu? Kenapa tiba-tiba mereka merasa penting untuk membicarakan aku? Dan akhirnya aku merasa seperti terpojok dengan keadaan, tertampar, tertusuk, terhina, dan diperlakukan tidak adil. Siapalah aku?Aku salah memang tidak mengomunikasikan ini terlebih dahulu. Tapi bukan salahku jika kemudian proses yang berjalan begitu cepat dan tidak menunggu waktu lama. Aku salah memang tidak mengomunikasikan ini ke mereka. Tapi bukan salahku pula jika kemudian ternyata ada fakta jika proses semua ini tidak sesulit yang pernah diutarakan tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan, dulu, bahkan satu tahun kini. Apa yang kulakukan kini tidak ada maksud menyakiti kalian. Maaf pula jika nyatanya kalian tersakiti. Bijak atau tidak bijak dalam penerimaan ini mungkin lebih karena masalah komunikasi yang ada. Dan bagaimana kalian kemudian menerima keadaan ini. Tapi tetap saja aku tidak akan pernah menerima umpatan yang membuat aku merasa tidak berhak atas hak dan keinginan yang ku ingin. Tetap saja kemudian ku akan memiliki cara pandang dan penilaian tersendiri terhdapa umpatan itu, pada akhirnya. Tetap saja dengan yang terjadi aku tidak menerima semua ini. Meski aku sadar untuk meminta maaf. Lapang dada ini menerima bagaimana kalian bijak menyikapi ini.

Sunday, March 05, 2006

Tahun lalu aku pernah bergurau untuk tidak lagi tinggal dan bekerja di jakarta. Dan sekarang apa yang telah ku ucapkan pun nyata adanya. Bahkan kemudian menjadi dilemma dalam beberapa waktu belakangan ini. Apa iya? Bali dan Bintan, dan kemudian ke luar Indonesia meski masih sekitar Asia. Kemungkinannya adalah Thailand. Pfuih?. Itu pun dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Setahun untuk masing masing lokasi. Pfuih?. Apa iya? Aku Cuma bisa terdiam. Teriakan dan luapan kegembiraan pun hanya sebentar ada. Selanjutnya kebingungan yang terus menyelimuti dalam belakangan ini.
Perusahaan itu memang telah lama terbenam dalam pikiranku. Bahkan jauh ketika aku sedang duduk di bangku kuliah tingkat dua. Dengan kemampuan yang aku punya, bisa saja kemudian aku mengambil kesempatan itu. Tapi terus terang, aku tak kuasa untuk kembali ke titik nol dalam kehidupan pekerjaanku. Meski usiaku kini yang 25. Satu pilihan yang sulit
Di sana pun posisi yang ditawarkan mengaruskan ku untuk kembali ke titik nol tadi. Tentu dengan kesempatan mengembangkan kemampuan komunikasi yang aku punya. Tapi apa iya? Kemudian bekerja di industri yang bertolak belakang dengan bidang pekerjaan yang aku lakukan sekarang?
Bodoh memang jika kemudian aku tidak mengambil kesempatan traveling dimana bekerja dan berlibur dalam waktu yang sama. Tapi, seorang teman pernah berkata, ada sesuatu yang tidak terbayarkan. Jika kemudian aku mencintai pekerjaan yang sekarang, itu juga karena aku menemukan hiburan tiap harinya. Bertemu dengan banyak orang tiap harinya. Sama saja mungkin dengan pekerjaan yang akan ditawarkan nanti. Tapi, aku sepertinya telah menemukan jiwa di pekerjaan sebagai seorang pemburu berita. Ada sesuatu yang tidak terbayarkan.
Malam itu, t-shirt panjang warna merah buatku seperti mewakili diriku kembali ada. Tak ada alasan untuk tidak bisa berusaha tampil dan sedikit melupakan. Dan juga dengan sedikit keriaan. Mmmhhh, ku tak jamin kalau semalam itu hanya sedikit keriaan dalam diriku. Buktinya, peluh tak juga kunjung mengering hingga empat jam, tengah malam itu. Rasanya semuanya lepas dan tidak sedikit perasaan susah yang dibawa. Meski kalau boleh jujur, fisik ini belum sembuh benar. Bahkan gejala awal pilek sudah tampak. Ujung dari gejala flu yang mulai aku rasa sejak awal pekan ini. Satu ruang itu yang ada hanya pertunjukkan sesungguhnya diri kami masing-masing. Empat jam itu yang ada hanyalah hilangnya siapa kami. Larut dalam kegembiraan.
Powered by Blogger.