Saturday, November 05, 2011

Relung (Part 12)

Pertemuan terakhir dengannya itu semakin menegaskan posisi ku di hadapannya.
Berkali-kali memang ku katakan ‘cukup dan tidak lagi’. Aku hanya perlu waktu untuk sembuh. Dan menjauh darinya adalah salah satu jalan yang aku pilih. Dan berhasil. Ia tahu yang aku inginkan.
Satu minggu ini tak ada lagi telpon darinya, sms sekalipun tak ia kirim. Memang bukan yang aku harapkan. Baik juga untuk dia. Untuk memperbaikin hubungan yang ia miliki. Tak ingin ia berpaling hanya untuk seorang aku.
Dan keberadaan ku di Semarang saat ini benar-benar ku manfaatkan untuk diriku sendiri. Menenggelamkan ku pada kesibukan yang aku punya.
“Besok jadi pulang, Den?” tanya suara di belakangku.
Aku palingkan kepalaku.
Ibu Sri berjalan ke arahku, sambil membawa secangkir kopi ukuran besar.
Perlahan ia berjalan.
“Iya, Bu. Sudah cukup materi yang harus saya bawa ke Jakarta.”
“Naik pesawat jam berapa?”
“Besok naik Kamandanu yang pagi. Nggak buru-buru ke Jakarta. Jadi, saya pilih naik kereta aja. Lebih santai”
“Bukannya enak naik pesawat?”
“Lagi gak ingin, Bu”.
“Den ini aneh. Seumur-umur ibu ingin naik pesawat. Eh, Den Bimo malah gak kepingin. Ya udah. Ibu tinggal tidur yah. Ini kopi buat Den Bimo. Besok pagi, biar Bapak aja yang antar Den Bimo ke Tawang”.
Bu Sri duduk di hadapanku sambil meletakkan segelas kopi ukuran besar. Wuih, doping agar aku terus terjaga.
Rawut wajahnya menyuratkan usianya. Meski begitu ada tersirat wajahnya yang begitu tenang.
“Gak usah, Bu. Biar naik taksi aja atau naik angkot”. Jawabku sambil menyambut secangkir kopi itu.
Bu Sri mengurungkan niat untuk masuk ke dalam kamar.
“Den ini gimana sih. Gak apa-apa. Biar si Bapak yang anterin”.
“Aduh, Ibu, saya jadi ngerepotin aja. Dikasih tumpangan tidur aja saya sudah seneng banget. Saya nggak mau repotin lagi.”
“Siapa yang merasa direpotin? Justru kami seneng Den Bimo tinggal di rumah kami. Tapi, maklumin, Den, yah, kalau rumah kami nggak bagus”
“Ibu, saya yang berterima kasih”.
Yah, ini malam terakhir aku di Semarang, dan selama di kota ini aku memang tinggal di sebuah keluarga di Kampung Branci dekat Matraman. Kawasan China Town di Semarang.
Rumah ukuran tidak seberapa luas ini hanya ditempati Ibu Sri dan suaminya, Pak Suryo.
Kalau ditanya kenapa aku nggak ingin diantar Pak Suryo, itu karena.....mana aku tega melihat Pak Suryo mengayuh becak ke Tawang yang jaraknya 30 menit. Tapi, aku juga gak tega menolak tawaran. Menolak berarti ....ah aku paling tidak suka menggunakan kata ini...tidak menghargai. Tapi,....
“Gak apa apa, Den. Besok Bapak antar ke Tawang. Sayang ongkos taksinya."
Tiba-tiba Pak Suryo keluar dari kamar. Dan duduk di samping istrinya.
Malam terakhir. Ah, berarti perbincangan terakhir kami.
Tidak.
Aku tidak ingin ini pertemuan terakhir buat kami. Ingin tetap merasakan kemurahan hati mereka.
Hari pertama di Semarang aku sempat cek in di hotel yang diberikan kantor. Dan ketika aku kemudian mencari narasumber, aku tersesat di antara jalan perkampungan. Mereka lah yang menunjukkan aku jalan. Sangat tidak mungkin memang menolak kemewahan hotel dan memilih tidur di rumah yang tidak seberapa luas ini.
Toh, bukan Bimo kalau tidak suka berimporvisasi dengan keadaan. Toh, menyelami kehidupan langsung masyarakat menambah inspirasi untuk bahan tulisan.
Saat Pak Yogi tahu aku tidak tidur di hotel, ia sempat memarahiku. Tapi, aku berikan alasan yang kuat. Menolak fasilitas kantor memang sudah menjadi kebiasaanku. Termasuk pulang dengan kereta dari pada pesawat.
Dan aku sekarang sedang menikmati perbincangan dengan keluarga yang sederhana ini.
Sudah jam 10 malam.
Biasanya Pak Suryo sudah tidur. Lelah mengayuh becak di Johar, tempat biasa dimana ia mangkal. Berangkat jam lima pagi hingga tujuh malam.
Tapi, malam ini, dengan rokok kretek di tangannya, ia menemaniku. Obrolan yang aku tahu tidak jauh dari nasihat-nasihat.
Sementara sekali-kali aku menyeruput kopi buatan istrinya. Nikmat banget kopi tubruk buatannya.
Malam makin larut.
Aku tak segera tidur. Kopi tubruk itu kuat pengaruhnya.
Sementara Pak Suryo dan Bu Sri sudah masuk kamar.
Lampu dimatikan.
Aku baringkan tubuhku pada balai di ruang tamu. Balai tempat tidurku selama di rumah ini. Berselimut sarung.
Menatap langit rumah dengan jelaga hitam dari bentukan asap dapur.
Bau kayu rumah.
Sudah tua rumah ini. Sama usia dengan kedua pemiliknya.
Aku sudah kerasan dengan kesederhanaan ini.
Dan besok pagi....ke Jakarta?
Optimis, semua hal telah ku buang di Semarang.
Hari baru lagi untukku esok di Jakarta.
Tak akan ada lagi dia dan dia.

0 komentar:

Powered by Blogger.