Saturday, November 05, 2011

Relung (Part 13)

Stasiun Tawang pukul 07:30 pagi. Meski hanya membawa satu ransel, tapi tetap ada yang membebaniku.
Ugh, Bu Sri, secara diam-diam ternyata memberiku oleh-oleh untuk ku bawa ke Jakarta.
Aku sendiri nggak tahu kapan Bu Sri belanja oleh-oleh ini. Yang jelas, wingko babat dan bandeng presto sudah membuat tangan kanan ku gontai dan hilang keseimbangan.
Akunya yang nggak tahu diri. Sudah menumpang, tapi tidak memberi balasan yang berarti.
Kapan waktu ke Semarang aku harus mampir ke tempat Pak Suryo dan Bu Sri.
Bunyi peringatan penumpang berbunyi. Aku segera bergegas masuk ke dalam gerbong kereta Kamandanu yang akan membawaku kembali ke Jakarta. Di lorong gerbong aku mencoba mencocokan karcis kereta dengan mata melihat nomor kursi.
Ah, ku dapati juga akhirnya. Pfuih, kantong oleh-oleh aku letakkan di atas. Sementara tas ransel aku biarkan diletakkan di bawah kursi. Duduk di tepian dekat kaca. Posisi bagus untukku, karena aku bisa melihat pemandangan siang pantai utara Jawa.
Saat aku mulai bersandar, dari kejauhan aku dengar suara yang cukup menarik perhatian seluruh penumpang gerbong ku. Mengganggu ketengangan penumpang lain saja, keluhku.
"Ups, sorry, maaf"
Haiya, sudah bikin rusuh, tasnya pun harus jatuh tepat di bahu kananku.
"Maaf, mas. Maaf", serunya dengan nada menyesal.
"So ke, nggak apa-apa", jawabku setengah hati, berharap tidak ada perbincangan lebih lanjut. Aku mau tenang sepanjang perjalanan 6 jam Semarang - Jakarta. Itu pun kalo penumpang reseh itu nyadar, kalo aku sama sekali nggak minat untuk ngobrol. Muka sudah ke setting tidak bersahabat.
Oke, kereta sudah mulai bergerak dari Stasiun Tawang.
Kebiasaanku memang untuk tidak banyak bicara di dalam moda transportasi apapun. Apalagi kalo lagi gak mood untuk ngomong dengan orang asing. Dan terutama saat tidak ingin.
Jadi, jangan harap perjalanan ini membuka pertemananku, meski hanya sekedar teman seperjalanan. Aku mau menikmati perjalananku.
Dia pun rasanya setali tiga uang dengan ku.
Pas.
Aku alihkan pandanganku ke sisi kananku. Masih banyak hal indah yang bisa dilihat.
"Air laut itu nanti kalo musim pasang, akan menggenangi rel kereta ini, Mas".
Aku terdiam.
Aku alihkan pandanganku ke sumber suara itu. Penumpang di sebelahku.
Amat tidak sopan kalo aku berkomentar datar atas pernyataannya tadi.
"Iya", jawabku sambil tersenyum. Berusaha sopan. Cukup sopan pikirku, dan aku kembali melihat sisi kananku.
Tapi, nggak berapa lama kemudian.
"Maaf tadi, kalo tas saya menimpah bahu, Mas. Nggak apa-apa, kan?" tanyanya.
"Nggak apa-apa, kok. Gak ada yang serius". jawabku sekenanya.
Udah yah, ngobrolnya. keluhku dalam hati.
Aku kemudian coba bersandar. Meletakkan kepalaku di sandaran kursi. Tidur.
Damn.
Dia diam. Sikap ku, dan nada bicaraku mungkin sudah diterjemahkan olehnya, kalau aku sedang tidak ingin diganggu.
Bimo.
Bimo tuh bersahabat, nggak sombong.
Aku batalkan niat ku untuk tidur.
Mungkin ngobrol dengan sesama penumpang bisa buang jenuh ku sepanjang perjalananku.
Aku beranjak dari sandaranku dan menoleh ke arah penumpang sebelahku.
Dia tersenyum bersahabat dan mengulurkan tangannya.
"Saya Ardi".
"Bimo". Jawabku menyambut perkenalan teman baruku.

0 komentar:

Powered by Blogger.