Tuesday, March 02, 2010

Relung (Part 4)

Baru aku mau klik email itu. Dan...
"Hai, Bro!”
Dion tiba-tiba sudah di depan pintu kamar yang memang terbuka sejak tadi.
Aku urungkan membaca email. Kecewa. Penasaran. Tertunda dech.
Sign out ASAP.
“Elu. Kaget gue. Kok gue gak denger suara mobil lo?”
Nggak penting aku menoleh ke arah suara itu. Sudah akrab terdengar suara baritonnya. Cuma agak sulit menyembunyikan kekecewaanku coz aku harus mengurungkan niat membaca email. But, Dion dah di rumahku. Smile!!!!
“Yah mana mungkin lo denger, kalo lo pasang musik sekenceng itu. Lagipula mana tega kalo lo yang bukain pintu. Pintu juga gak dikunci tuh. Kenapa juga muka lo? Cemberut gitu?”
Udah mulai cerewetnya.
“Gak apa-apa. Boring gue!”, jawabku sekenanya.
Ternyata Mbok ina lupa mengunci pintu. Aku tidak beranjak dari kursiku.
Shut down.

“Nech gue bawa pesenan lu. Ponsel yang lo titip beli ke gue. W 902, kan? Dan simcard lu. Nomor masih tetap sama”.
Satu paper bag warna coklat diangkat setinggi dada Dion. Maksudnya ingin memperlihatkan apa yang ia bawa.
Ia menuju arahku dan meletakkan paper bag itu di atas meja. Aku menyambutnya dengan senang. Akhirnya, aku punya ponsel baru, termasuk simcard dengan nomor yang sama.
Aku memang minta tolong Dion untuk mengurus nomorku yang hilang dan juga membeli ponsel baru untukku. Yah, aku minta tolong Dion saat terakhir aku ketemu dengannya di rumah sakit.
“Tetep lo yah, browsing terus”, ucapnya sambil mengintip layar laptop yang sudah mati. Sorry, bro, private area.
“Sorry, kalo gue baru bisa datang sekarang. Gak sempet ke Sony Ericsson. Lagian gue pikir, sekalian aja lah, gue ke sini barengan ma jadwal kontrol lo”, lanjutnya sambil menjatuhkan tubuhnya di tempat tidurku.
“Jadwal kontrol? Mang sekarang? Gue lupa”, ucapku sambil menoleh ke arahnya. Aku kaget setengah mati kalo hari ini ternyata memang jadwal kontrol pertamaku. Janjian dengan dokter Laksmi.
“Kan lo sendiri yang bilang ke gue, sehari sebelum lo cek out dari rumah sakit, kalo jadwal kontrol lo tuh hari minggu. Dan lo minta gue yang nganterin lo. Gak mungkin juga Mbok Ina, kan? Nah sekarang hari minggu, Bim!” ucap Dion. Sementara tangannya sudah asik dengan BB digenggaman. Dua jempolnya bergerak lincah di keypad. Chatting or update facebook. Salah satu kebiasaannya saat waktu kosong di kantor. “Asli, Dion, gue tuh bener-bener lupa”, ucapku.
Aku sebenarnya masih kesal dengan kedatangan Dion. Beri aku waktu sedikit aja. Pasti aku bisa baca email itu. Pasti suasana hatiku jauh lebih baik setelah bisa baca email itu.
Sepuluh hari lebih tidak dapat kabar darinya. Kangen banget tau. Dan dia pasti juga gak tahu bagaimana menghubungiku. Sama halnya denganku. Ponsel hilang. Hikz. Email or facebook. Hanya itu harapanku bisa menemuinya. Meski di dunia maya. Sebesar itu harapanku, meski aku harus menanggung semuanya sekarang. Gips yang membalut kakiku aku anggap sebagai tanda perjuanganku untuk mendapatkannya. Meski ia tidak tahu, seburuk apa keadaan fisikku saat ini. Love!!!
“Dah jangan dilihat-lihat, tuh, ponsel. Cepetan!” runtuk Dion sambil meraih remote cd player.
Musik off.
“Motor lo masih di bengkel?” tanya Dion saat melangkah menuju mobilnya dan diketahuinya motorku gak ada di ruang tamu.
“Biar aja lah dulu. Lagian juga gue gak bisa make buru-buru”, jawabku datar. “Nggak penting banget, sih, pertanyaan lo, Dion”, keluhku dalam hati.
"Sekalian cari atm yah, gue mau transfer uang ke elo, buat ganti uang ponsel yang lo dah talangin", ucapku.
Sambil tertatih-tatih aku pun menghampiri pintu mobil Dion. Kalau nggak ada Dion, gak kepikiran kalo harus pergi ke rumah sakit naik taksi. Gubrak. Apalagi dengan kruk ini. Gosh berapa lama lagi???
Mampang – MMC, pada hari minggu menjadi tidak seberapa jauh. Lengang.
Dua jam tubuhku di periksa habis-habisan. Membosankan. Diperlakukan seperti orang yang tidak berdaya sama sekali. Dion nunggu di luar ruangan. Thnx, bro, lo bantu gue banget. Nggak hanya hari ini, tapi juga untuk yang kemarin-kemarin.
Setelah mengantarku balik ke rumah. Dion sign out.
Sudah malam dan aku kembali sendiri di rumah. Menyantap masakan buatan Mbok Ina siang tadi. Perkedel kentang dan tempe goreng. Standar. Secara juga aku gak terlalu bernafsu untuk makan. Aku makan pun karena harus makan obat rutin dari dokter. Obat tidur sengaja aku minum nanti-nanti saja. Masih ingin melek. Masih ingin baca email darinya. Setelah tertunda tadi siang.
Kalau saja gips ini sudah dibuka, aku pasti bisa leluasa bergerak. Gosh.
Lima menit sudah berada di depan layar laptop.
Entah kenapa aku tiba-tiba tidak punya keberanian untuk klik email darinya. Padahal hanya tinggal satu hentakan ringan, rasa penasaran itu bisa terobati. Tapi tidak saat ini. Aku ragu dan ada ketakutan yang ku pikir tidak beralasan. Kenapa? Kenapa? Kenapa?
10 menit sudah berlalu. Masih membeku. Mataku nanar. Bergeming.
Ada begitu banyak hal terlintas di benakku. Seakan-akan semua kenangan tentangnya menahanku berada dalam satu waktu yang beku. Aku benar-benar benci dengan saat seperti ini. Sekarang atau nanti? Dua pertanyaan sederhana. Tapi berat untuk membuat keputusan.
Email darinya pun akhirnya ku baca.
“Bimo, aku nggak ingin kamu kecewa nantinya. Kamu sudah tahu kenyataannya seperti apa. Kamu terlalu baik untuk menjadi luka. Luka yang sebenarnya kamu bisa hindari.”
Hanya empat kalimat itu saja.
Dingin.
Teramat dingin.

0 komentar:

Powered by Blogger.