Saturday, April 10, 2010

Relung (Part 5)

Ku hanya terdiam. Ku pejamkan mata serapat yang aku bisa. Tak ingin rasanya membaca jika ku tahu harapan yang ku miliku terpatahkan begitu saja.
Sendiri. Itu yang aku rasa kini.
Rasa itu memang bermain di antara kita dan mengalir begitu saja. Meski aku, kamu sudah mengetahui hati ini telah dimiliki siapa. Dan aku sudah jelas tahu kamu telah dimiliki. Tapi, rasa yang terlarang itu mengalir juga. Perasaan suka, mengagumi, sayang, dan tidak ingin ditinggalkan pun terjadi.
Aku pernah tahu ketika kamu menangis karena takut ku meninggalkanmu. Ku pernah mendapat marahmu tatkala aku mengatakan pergi tanpa sepengetahuanmu.
Ku pernah mendengar kekecewaanmu tatkala aku membatalkan pertemuan kita.
Kamu begitu dengan rasa yang kamu miliki ke aku. Aku pun juga. Kamu seperti tidak memperdulikan hati dari kekasih yang sebenarnya lebih pantas untuk itu. Berulang kali kau pun berbohong dan bermain di belakang kekasihmu. Hanya untuk kita.
Sayang, ketika waktu kemudian tidak lagi memungkinkan kita bertemu, kamu pun mencari ku. Dan ketika aku berjuang untuk kamu?
Kemana rasa itu kini?
Lepas dari siapa aku, bukankah kamu juga telah menghianati hati kamu dengannya?
Dan ketika hati ini terpaut utuh untuk kamu, kamu buang aku.
Hatiku meradang.
Aku harus apa kini? Terbuang.
Masih membeku rasanya tubuh ini, bergeming. Mati rasa. “tak tahu kah kamu kondisi ku saat ini? Tak rasakankah kau, terkaparnya aku saat aku berusaha menemuimu?” runtukku dalam hati. Kesal merasuki ku. Geram.
Rindu yang ku tanam pun ku tuai bagai sekam dalam diri.
Mungkin baiknya ku makan obat tidur itu segera, agar ku lelap.
Satu pil.
Dua.
Tiga.
Empat.
Hanya pil-pil itu yang bisa membuatku melupakannya. Membiarkanku tertidur untuk waktu yang cukup lama.

0 komentar:

Powered by Blogger.