Sunday, April 15, 2012

Terjerembab, Terperosok, Terpelanting


04:30 Alarm berbunyi. Setengah bergeliat, dan setengah bernyawa, aku kemudian jejakan kaki ke lantai dan menuju kamar mandi, bersiap untuk ke kantor. Setengah hati ku lakukan ini, karena  selalu saja aku berpikir kalau terlalu dini memulai hari. Padahal rutinitas ini telah aku jalani sejak 4 bulan terakhir. Dan selama waktu itu pula, jalan pikiranku belum berubah. Membandel.
Ritual selanjutnya adalah memanaskan mesin motor. Menyiapkan helm, kacamata, penutup hidung, sarung tangan, dan jaket. Dan tidak berapa lama, aku pun telah berada di jalan raya.
Aku melepaskan pandangan ke pengendara motor yang perlahan menyesak di lampu merah. Dan kemudian aku berhenti mengutuk diri. Dengan setengah berteriak, "Hey, aku tidak sendiri".
Cukup banyak pula warga Jakarta yang telah memulai hari terlalu dini. Padahal dingin masih menggigit. Apalagi saat motor melaju dengan cepat, maka kecepatan angin yang diterimanya berbanding lurus dengan dinginnya angin yang diterima.
Lalu lintas pagi itu menyenangkan, terutama padat lalu lintas yang jarang ditemui. Lengang, bahkan bisa dikatakan teramat sepi. Setidaknya begitulah pengamatanku selama ini.  Motor ku pun bisa ku pacu hingga 60 KM/ Jam.
Mmmmm, entah sudah cukup cepatkah itu. Tapi, paling tidak, dengan tetap menjaga kecepatan, aku bisa tiba di kantor dalam waktu 45 menit, dengan syarat dan ketentuan berlaku; ban motor tidak bocor. Karena, jika aku telat saja berangkat ke kantor.....mmmm kesabaranku diuji (baca: mengutuk macet).
Untunglah 4 bulan terakhir ini, aku tidak pernah terjebak kemacetan. Tidak lagi mengenal istilah padat merayap, bahkan hampir lupa kosa kata 'macet'.
Tapi, sebenarnya, kalau diamati lebih lanjut, dengan berkendara, saat matahari belum terbit, pengendara dituntut kewaspadaan penuh, karena nyawa taruhannya. Mau tau?
Terus melajukan kendaraan, terutama pada jalur yang lurus, dengan kecepatan konstan adalah sebuah kewajaran. Karena wajar jika warga menikmati suasana lancarnya lalu lintas. Asal, pandangan fokus ke jalan dan tidak ugal-ugalan. Bukankah itu yang selalu dianjurkan? Selain hari libur, jalan lengang hanya didapat pada saat pagi hari. 
Tapi, apa jadinya jika kenikmatan berkendara terganggu karena lubang? Lubang membuat fokus terganggu, membuat motor dan tubuh terguncang. Maka, umpatan dan makian bisa muncul terlalu dini. Yap, terlalu dini.
Mengumpat seketika, dan kemudian meringis kesakitan, merasakan persendian yang beradu dengan cepat. Belum lagi, tubuh yang sekejap melayang, dan sekejap pula memaksa pantat menerima berat tubuh dengan cepat. Bergumam, mmmm, dan bertanya, 'Pernah ada yang mengalami hal ini?'
Dan selalu saja, jika aku menceritakan kejadian ini, maka aku yang selalu dianggap tidak hati-hati. Maka, untuk kesekian kalinya aku mengumpat, karena aku telah dikorbankan sebanyak dua kali. Pertama karena nyaris celaka, dan yang kedua karena harga diri yang dianggap bodoh. 
Aku protes!!!!!
Ini tidak adil, jika kemudian pengendara selalu dianggap lalai atas kecelakaan yang dialaminya.
Apalagi aku, kurang fokus apa aku? Kurang siap apa aku dalam berkendara? Semua tersedia dan semua disiapkan.
Itu sebab, aku teramat tidak terima jika dianggap lalai dalam berkendara. Kalau mereka yang sengaja membahayakan diri dengan cara ugal-ugalan di jalan raya, itu terserah mereka, karena itu resiko logis yang terjadi.
Tapi, bagaimana kami yang taat aturan, tapi tetap dikatakan lalai. Padahal, kalau dipikir-pikir, kecelakaan itu akibat jalan berlubang. Jadi, siapa yang lalai?
Masih untung jika pengendara masih hidup saat motor terguncang di sebuah lubang. Apa jadinya, jika sesaat setelah mengetahui ada lubang di depannya, dan refleks, kemudian menghindari lubang. Sial, jika kemudian tersenggol pengendara lain, atau bahkan pengemudi mobil dan bus, jatuh dan cidera.
Tapi, jika kemudian, justru jatuh dan terlindas? Apapun akan terjadi, kan? Bukan bermaksud mengada-ada. Tapi, lantaran menghindari lubang, korban tewas berjatuhan selalu saja terjadi.
Ini salah satu beritanya, "Hindari Lubang, Siswi di Tangerang Tewas Terlindas Truk" Via detik dot com, 16 Februari 2012. Selanjutnya, silakan cari data di google terkait kecelakaan yang disebabkan karena jalan berlubang.
Apa yang dialami siswi tersebut, bisa jadi akan terjadi pada siapapun.
Cerita berikut adalah yang pernah aku alami. Misalnya, hampir terjerembab di lubang di jalan Pondok Indah. Kemudian terpaksa mengendarai motor secara zig zag di jalan Panjang. Terlalu pagi untuk berlaga seperti stuntman.
Ya, aku mengendarai motor secara zig zag, lantaran banyak titik-titik lubang di jalan Panjang. Aku sebisa mungkin menghindarinya. Yup, sebisa mungkin, karena sekali waktu, aku pun lupa, dimana titik-titik lubang itu berada. Meski rute tersebut aku lintasi saban pagi.
Kalaupun tidak perlu berlagak stuntman dengan mengendarai secara zig-zag, maka aku perlu merasa untuk mengurangi kecepatan motorku.
Anehnya, jelang jalan berlubang tersebut, tidak satu pun papan atau spanduk peringatan yang menyarakan agar pengendara lebih berhati-hati. Padahal sesuai peraturan yang berlaku, pemerintah dipersyaratkan untuk memasang informasi tersebut.
Sekali dua kali melintas di jalan panjang tersebut, boleh saja aku kemudian hafal titik-titik di mana saja lubang itu berada. Lalu bagaimana jika ada orang yang baru kali pertama melintas? Siang hari mungkin bisa mengurangi resiko ketidaktahuan. Bagaimana kalau malam hari? atau jelang matahari terbit, seperti keseharianku?
Dan masih ingat dengan anjuran agar pengendara motor melaju dijalur kiri? Aku hanya menarik nafas dalam. Tidakkah yang membuat anjuran itu melihat kondisi badan jalan di jalur kiri seperti apa rupanya?
Banyaknya perusahaan yang memiliki kepentingan untuk membangun dan memperbaiki jaringan di bawah tanah, berimbas pada badan jalan sisi kiri yang kerap digali, ditimbun, digali, dan kemudian ditimbun.
Kalaupun kemudian lubang itu ditutup, maka, bekas lubang itu tidak lagi rata dengan level jalan. lebih tinggi, atau amblas. Sehingga jalan bergelombang.
Ini juga yang kerap membuat aku mengumpat terlalu dini di pagi hari.
Belum lagi, saat hujan, maka semua lubang-lubang itu menjadi seperti jebakan dan ranjau darat yang siap membuat pengendara motor cidera, kapan pun. Karena menjadi layaknya kubangan.
Dan saat jalan berlubang, maka akan ditambal, bukannya diperbaiki. Saat aspal tambal itu kemudian tergerus air, makan kembali berlubang. Begitu terus berulang. Jalan bukan kian rata, justru kian bergelombang.
Siapa yang lalai? Maka yang lalai layaknya dihukum, apalagi jika sukses merenggut nyawa orang.
Jakarta punya cukup banyak cara membuat warganya stres. Bahkan bisa jadi jika stres itu diawali sedini mungkin, pagi hari, bahkan sebelum matahari terbit. Mengumpat terlalu dini.
Kalau melihat motor-motor yang perlahan menyesak di lampu merah, maka pikir ku adalah pengendara ini adalah warga yang tahan mental dan tahan banting. Belum juga mereka tiba di tempat mereka mencari nafkah, banyak halangan yang mereka harus hadapi. Bangun terlalu dini, dan jebakan-jebakan jalan berlubang dimanapun itu.
Dan pengendara seperti dibiarkan jatuh dan terjerembab di lubang-lubang. Pengendara bukanlah keledai yang tidak akan jatuh pada lubang yang sama. Pengendara hanya manusia, sehingga sering jatuh pada lubang yang sama, tapi maaf, bukan karena lalai apalagi lupa. Tanya mengapa? (AD)

0 komentar:

Powered by Blogger.