Saturday, February 12, 2011

#Maninjau, West Sumatra (Part 7)

Dengan kecepatan 20 km/ jam, Kijang hitam perlahan menyusuri jalan beraspal di tepian Danau Maninjau. Dengan kecepatan laju seperti itu, seakan waktu berjalan lama, aku seperti berada di dimensi lain. Sepanjang mata memandang, tampak pohon-pohon peneduh berjejer, di sisi dan kanan kiri jalan. Sementara, rumah penduduk, tampak saling berjauhan. Duduk di sisi kiri, memberi keuntungan untukku, Danau Maninjau itu tidak berapa jauh dariku. Aku tak banyak berkata. Warga lokal sangat beruntung miliki Maninjau. G, cantik. Dan perkampungan ini benar mendamaikan! Hey, aku beruntung telah berada di sini.
Tidak menonjol kesibukan lalu lintas di tepian danau ini. Sesekali bus 3/4 melintas. Yap, transportasi di perkampungan ini sangat jarang. Angkutan umum yang tersedia hanya bus 3/4, itu pun untuk layanan jauh. Untuk jarak dekat tidak ada. Setidaknya harus memiliki motor untuk mobilitas. Sepinya lalu lintas berimbas pada sepinya suasana di sini.
Mobil di parkir di sisi jalan. Vano, ayahnya, dan aku, bergantian bawa beberapa barang dari belakang mobil ke dalam rumah. Absen sholat jum'at, kami pun selesaikan zuhur, sebelum lanjut ke pemakaman. Tapi, melihat matahari demikian teriknya, membuatku inisiatif jemur baju dari tas ransel. Alhamdulillah, kena matahari. Sedangkan, Vano dan ayahnya, beres-beres rumah. Tuan rumah yang baik. LoL
Tempat pemakaman itu tidak jauh, sekitar 10 menit perjalanan. Jika, pada catatan perjalananku sebelumnya, ku sempat menulis, ada kebiasaan adat untuk mengubur di lereng bukit, maka, saat ini, aku benar-benar membuktikan pemikiranku. Informasi yang aku dapat di Painan, warga Sumatra Barat punya adat warisan, dimana, tanah diwariskan untuk anak. Maka, menguburkan di lereng bukit tidak akan mengganggu warisan tanah. *Mohon dikoreksi
Tali kekerabatan di sini erat sekali. Aku sebagai pendatang merasakan hal itu. Perbincangan antar keluarga ini, tidak membuatku sebagai orang asing. Kosa kata yang mereka ucapkan pun, sedikit banyak ku pahami. Bukannya sok tahu, tapi, aku paham maksud pembicaraan mereka. Suasana seperti ini, juga aku rasakan saat pulang kampung. Ramai dan menetramkan, dimana diri, jiwa dirangkul dengan apa adanya.
Oh, yah, entah ini juga merupakan satu kebiasaan atau bukan, itu loh, cara minum kopinya. Kopi dituang ke tatakan cangkir, didiamkan dingin, baru kemudian diseruput.
Padahal, cara praktis, yah, ditiup saja, kalau memang tujuannya dapat segera diminum. Tapi, tak ayal, cara minum kopi seperti ini, aku coba juga, n seru.
Setelah ikutan silaturahmi sana-sini, akhirnya aku merasakan rendang asli pertamaku. Yup, 3 hari di Sumatra Barat, baru ini aku rasakan rendang. Mata benar-benar berbinar. Lidah rasanya sudah memaksa untuk melahap. Sayang, jaim menghadangku. Aku tak makan seberapa banyak. Dan itu bukan aku sekali. Nyesal? *angguk kepala
Seperti tidak ada habis-habisnya, perjalanan di Maninjau pun diteruskan. Tarik nafas panjang.
Berada di Maninjau saat ini, seperti menenangkan pikiran dan batinku. Santai dari target perjalanan berikut. Isi energi dengan cara lain. Bertapa dalam kesunyian Maninjau, dengan duduk di warung tepi danau. Menapaki pijakan keramba di danau. Bercengkrama dengan Vano dan ayahnya. Sesekali mengabadikan momen dengan kamera digital, dan kembali damai dan tenang. Dan menuju maghrib, kuhabiskan waktu di teras rumah, melihat lembayung di barat danau. Gelap. Ini malam pertama hidupku di Maninjau. Sepi.
Seakan melengkapi pertapaan, perkampungan ini pun digelap gulitakan oleh PLN, yes black out. Jangan banyak berharap bisa melihat, bahkan mendapat sisa-sisa cahaya, ini benar-benar pekat gelapnya. Sedikit cahaya ada, itu pun dari sisa-sisa cahaya dilangit, lebih tidak. Seru? *kasih 2 jempol.
Menyesal dan kesal? Nop, aku tidak menyesali bermalam dengan suasana sunyi dan gelap. Dan tidak akan pernah menyesali berada dalam situasi ini, meskipun berada di kampung orang. Well, aku menikmati tiap detik perjalananku. Dan suasana mati lampu ini ku yakin juga menjadi bagian ceritaku, seperti yang ku tulis saat ini.
Dengan genset, beberapa warga pun menikmati penerangan kembali, sisanya tetap menunggu kemurahan hati PLN. Masalahnya, sampai berapa lama? Aku tidak mengkhawatirkan ini itu, masalah terbesarku adalah batere bb-ku tersisa 2 bar. Tanpa ada kepastian waktu nyala, membuatku yang.....oke, lupakan hp. Isolasikan diri itu penting. Meniadakan diri sesaat dari kerumunan social media itu wajib saat liburan. Lupakan kota, nikmati Maninjau!!!
Di tengah gelap suasana pengajian, bantuan genset datang. Terang. Akhirnya. Semua anggota keluarga berkumnpul. Hangatnya. Dan aku? Aku mengamati saja, tanpa macam-macam. Melihat kebiasaan warga lokal toh juga bagian tidak terpisahkan dari perjalanan ini, kan? Namun, kondisi perut berkata lain. Makan malam pun tiba. *melompat kegirangan
Kebiasaanku yang kerap mendapat perlakuan setengah diprotes pedagang adalah mesen nasi goreng tanpa kecap, ekstra pedas. Di sini, aku dipaksa makan nasi goreng dengan kecap, dan tidak bisa request sesuai keinginan. Jadi, pedagang nasi goreng telah goreng sekian banyak porsi sebelumnya. Nah, saat ada pesanan, maka dengan segera terlayani. Positifnya, cepat, negatifnya, selera pelanggan tidak bisa diakomodir. Beneran "oil lamp dinner" nih, ma Vano. Gelap euy di warung ini.
Dan di hari ke-3 ini, ke-3 kalinya mendapatkan sesi obrolan dari 3 orang berbeda, di 3 daerah berbeda.
Jam 11 malam, lampu kembali nyala. Batere hp di isi ulang, sementara aku, mengisi kembali energi dengan tidur.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Powered by Blogger.