Tuesday, February 15, 2011

Relung (Part 7)

Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Gelisah seketika itu juga menyelimutiku. Geram pun merajaiku. Lama jemariku tak berkutik di atas keyboard. Tertegun. Bingung.
Rasa kangen dan sayang itu begitu menyakitkan aku. Tapi rajutan kalimatnya yang menolakku seperti sebuah tamparan keras.
“Bimo”.
Entah dorongan apa yang menguatkanku, meski hanya sebuah kata dari dua huruf saja.
“ya”.
Damn. “Kenapa aku harus membalasnya?” keluhku dalam hati. Tekanan begitu dalam yang aku rasakan saat ini. Semuanya begitu bercampur aduk.
“Apa kabar, Bimo?”
“Hai! Kabarku standar aja”. Jawabku apa adanya.
“Kok standar?”
What the hell???? Gerutuku. Nggak tahu apa, yang udah lo lakukan ke gue? Nggak tahu apa gimana susahnya gue saat ini? Umpatku bertubi-tubi. Pfuih gak ngefek juga. Toh dia gak tau bagaimana ekspresi wajahku menatap layar monitor. Geram. Marah.
“Bim, kamu masih di situ, kan? ”
What the hell? Apa urusan lo gue masih di sini atau nggak? Runtukku kesekian kali.
Sebatang menthol masih terapit di antara kedua bibirku. Asap yang ku hembuskan membentuk kepulan asap tebal. Sebentar kemudian asap itu menghilang mengikuti arah angin yang masuk dari daun jendela kamar.
“Iya aku masih di sini. Ada apa yah?” tanyaku dingin.
“Ingin tanya kabarmu aja, Bim. Udah lama gak update kamu”.
“Perlunya kamu update aku untuk apa?”
Pertanyaan ini yang sering aku lakukan. Pertanyaan mendesak hingga lawan bicara bingung mencari jawaban, dan biasanya nggak pernah terpikirkan kalau pertanyaan ini keluar. Keluar dengan spontan. Dan jawaban yang biasa ku dapat adalah jawaban yang jujur.
“Aku kangen kamu, Bim”
Damn.
“Bukannya semua sudah jelas. Dan kamu dah minta aku untuk lupain kamu? Kenapa sekarang kamu mengeluarkan kalimat itu?”
“Aku nggak boleh kangen ma kamu, Bim?”
Aduh picisan banget sech nech kalimat!!!! Bukannya menjawab pertanyaan ku malah balik tanya yang nggak penting.
“Aku sudah lebih baik saat ini. Tolong jangan ganggu aku, yah.”
“Kamu marah sama aku?”
STUPID QUESTION!!!!
“Jangan ganggu aku yah. Aku sudah baik-baik saja. Please. Ini akan jauh lebih sulit lagi. Aku sudah terima semuanya. Aku dah ikhlasin kamu untuk memilih jalan dengan dia”.
Perbincangan cyber yang aku memilih untuk tidak melanjutkannya lagi.
“Tapi, Bimo, kamu nggak paham situasinya seperti apa”.
Beruntung aku tidak melihat langsung ekspresi wajahnya. Dan aku jauh lebih beruntung dia tidak melihatku yang buruk sekali saat ini.
“Itu sudah pilihan kamu. Dan itu sudah menjadi keputusan kamu”.
“Jadi harus benar-benar berakhir seperti ini?”
“Maksud kamu apa? Sudah jelas, kan, semuanya. Mau kamu apa lagi?”
“Aku ingin kita tetap menjadi teman, Bim”.
“Jangan paksa aku. Aku sudah hargai keputusan kamu. Dan sekarang aku minta kamu juga hargai pilihanku”.
Damn.
Aku bersungut. Aku ingin menyudahi semuanya.
Satu batang rokok sudah habis. Ku lanjutkan yang kedua.
“Berteman pun tidak bisa?”
Aku tak menjawab segera. Berusaha keras mencari jawaban yang tepat. Lama jemariku berkutat dalam keraguan dan bimbang.
“Tidak. Tidak untuk saat ini. Aku perlu waktu”.
Mungkin ini jawaban yang tepat. Menghianati perasaanku yang sesungguhnya. Membangun benteng tinggi. Menyelamatkan hatiku. Aku berhak atas itu. Meski harus....
Agh, kenapa datang lagi. Aku sudah tidak ingin mengikuti jejak nya lagi. Aku sudah tidak mau.
“Bim, please, aku butuh kamu. Aku sedang tidak baik saat ini”.
What???

0 komentar:

Powered by Blogger.