Monday, May 16, 2011

#Solotraveller 1st day: 5 hours in Singapore - Destiny

27/04/11 Kurang lebih sepuluh menit, kasak kusuk mencari jalan keluar, akhirnya ku temukan, tangga ke atas yang benar-benar jelas mengantarku menghirup udara bebas. Lebay? Terserah lah, menganggapnya seperti apa, yang jelas, amat sangat tidak nyaman, berada di ruangan yang baru kita tahu, dan kemudian sukses tersesat.
Turun di Stasiun MRT Bugis, berarti berada di Bugis Junction dan terdapat jalur langsung ke pusat belanja. Yup yup yup, aku telah menyadarinya. Peta memang memberikan penjelasan yang sungguh teramat jelas. Namun tetap saja saat berada di medan sesungguhnya, gagap. Telat berpikir untuk membekali diri dengan kompas. Yes, kompas. Next trip, kompas adalah hal yang paling penting, dibandingkan ganti celana dalam tiap hari.
Sudahlah, tujuan ku selanjutnya adalah Merlion. Jangan tanya lokasi dan bagaimana aku mencapai lokasi favorit para turis ini. Pelayan restoran mengatakan, "tiga kali perempatan arah selatan. Kemudian, ada gedung besar belok kiri, telusuri jalan itu". Baik sekali pelayan itu mengarahkanku, sampai harus keluar restoran. Tangannya pun merasa perlu memberi aba-aba dan pengarahan. Berkali-kali pula meyakinkanku, apakah aku paham dengan penjelesannya.
Ucapannya, mirip sekali saat aku ditanyakan arah jalan oleh orang yang tersesat saat di Jakarta. Bayanganku, lokasinya.....? Aku nggak tahu seberapa jauh, dan yang penting berapa lama aku bisa mencapai lokasi itu. Aku terus-terusan kalkulasi waktu, karena aku juga nggak mau lewati perbatasan jelang malam. Alasannya lebih karena nggak nyaman. Dan juga karena tidak biasa. Takut gelap? Nop lah.
Setelah susuri jalan 30 menit, baru aku menyadari aku tersesat. Damn, so lost. Lost in Singapore, Nggak keren lah. Mengasihi diri dan terus berjalan. Bertanya kebeberapa orang, entah warga lokal atau asing. Ngga beda. Di sini campuran. Jadi aku sendiri ngga bisa bedain, siapakah warga lokal? Beruntung pedestrian di Singapura teramat nyaman. Jika lanjut naik MRT, justru tambah bingung, baiknya memang jalan kaki saja sih. Kalo pun merasa tersesat yah...nasib
Bukan aku, jika kemudian tidak menemukan jalan yang aku mau. Petunjuk jalan teramat jelas di sini. Hanya saja aku yang gagap, yeaaaa gagap. Segagap-gagapnya. Dan terus berusaha menyemangati diri, agar tidak drop. Hey, i’m #solotraveller, kalo lagi drop mental, siapa lagi yang akan bisa membangun kembali semangat itu. Dan ku pikir, itu adalah salah satu tantangan sebagai #solotraveller.
Satu orang terakhir yang aku tanya di mana Merlion berada justru menjawab, "Marlion di tutup saat ini, tapi Anda masih bisa melihatnya dengan kondisi berbeda".
Ow ow, Marlion di tutup? Bukankah itu patung besar yang tingginya hampir 9 meter dan beratnya sampai 70 ton? bagaimana bisa tutup? Dan apa maksudnya dengan kondisi berbeda?
Hingga kemudian, oalaaaaah, jalan jauh-jauh hanya melihat kondisi Merlion tertutup. Dan ternyata, kondisi ini karena Singapore sedang menyelenggarakan pameran selama kurang lebih sebulan. Dan salah satu obyek pamerannya adalah dengan membuat hotel, seolah-olah Merlion tinggal di dalam hotel itu.
Aku tidak segera masuk ke dalam “hotel” itu, meski gratis sekalipun. Duduk di tepian dermaga adalah pilihan yang tepat saat ini. Istirahat. Dan berada di lokasi ini, aku seperti berada di negara filipina, sekejap kemudian berada di Thailand. Ya, kalau selama ini aku dengar aksen Thailand di film, kini, aku bisa dengar langsung, bagaimana turis asal Thailand itu berkomunikasi dengan sesamanya. Begitu pun turis asal Filipina. Niat ke kawasan pecinan dan arab, sudahlah dibuang jauh-jauh, fokus dan fokus ke Merlion.
Area ini juga memiliki sebuah tanjung dengan teras tempat duduk dan sebuah dek untuk menonton yang sanggup menahan sampai 300 orang, serta sebuah tempat pendaratan kapal sehingga pengunjung dapat turun dari taksi kapal. Dek ini memberi panorama sang Merlion yang terbaik bagi para fotografer, dengan latar belakang cakrawala kota dan Marina Bay yang indah, termasuk gedung-gedung landmark seperti The Fullerton Singapore dan Esplanade – Theatres on the Bay.
Kesal lantaran Merlion tidak dapat dilihat secara utuh, aku memutuskan untuk sudahi perjalanan ku di Singapura. Memilih segera menyebrangi perbatasan. Istirahat di TuneHotels Johor Bahru, Malaysia. Yup, aku cuma ingin istirahat, dan sesegera mungkin tiba.
Lalu pikirku bingung, lebih praktis dari stasiun MRT manakah untuk ke terminal bus? Bugis Junction, atau mencari stasiun MRT terdekat. Logikanya memanglah harus yang terdekat.
Peta aku buka. Dari posisi ku di Esplanade, yang terdekat adalah Raffles Place. Aku pun sesegera ke sana.
Dari informasi yang aku baca, untuk mencapai perbatasan, aku harus naik MRT ke Kranji atau ke Woodlands. Nah, sampai pada titik ini, aku membiarkan kebingunganku mengalahkanku. Mana yang lebih praktis, turun di Kranji atau Woodlands?
Posisiku kini, berada di depan loket, bertanya kepada kasir. Dan dia bingung atas pertanyaanku. Yang dia bisa jawab, hanya dengan satu kata, “same. Same”. Baiklah, sambil ku menarik nafas dalam. Orang kedua yang aku tanya pun, setali tiga uang pun juga bingung menjawab pertanyaanku. Usut punya usut ternyata dia juga turis.
Jam 16:25, ya aku harus sesegera mungkin mencapai perbatasan. Karena aku nggak tahu seberapa lama proses imigrasi, keluar dari Singapura, dan kemudian masuk ke Malaysia via Johor Bahru.
“Kamu bisa naik MRT, kemudian turun di Kranji. Di terminal Kranji banyak bus. Itu lebih mudah untuk kamu melanjutkan perjalanan ke Malaysia”, begitu jawab seorang pria yang aku tanyai. “Baiklah. Terima kasih”, balasku.
Selang beberapa detik, ia pun berbalik membelakangiku, begitu pun aku, yang kembali masuk barisan untuk antri beli tiket MRT. Tapi tidak berapa lama kemudian, ia menghampiriku, “Kamu bisa ikut saya ke Johor Bahru. Tapi, kita harus ke Changi, karena saya parkir mobil saya di sana. Karena saya pun ada tujuan ke sana. Rumah saya di Johor Bahru”.
Sontak aku kaget, dan cuma bisa diam. Entah harus jawab apa. Mengiyakan tawarannya atau melepaskan rejeki ini? Walau bagaimanapun, sosok pria di depanku ini adalah orang asing. Aku nggak bisa begitu saja menerima tawarannya. Well, heloooo.... ya takutlah. Aku mentaksir usia pria ini, kira-kira 29-an tahun. Dari perawakannya yang kurus, dan cara berpakaiannya, dia masih kuliah, atau setidaknya telah bekerja. Cuma itu demografi dan profil yang ku dapat dari....baiklah, dia bukan seorang pria. Lebih pas, dia seorang pemuda.
“Bagaimana?” tanya dia mengulangi tawarannya. Kali ini, aku menatap matanya. Entah apa yang menggugah keyakinanku, hingga aku pun meluluskan akan tawaran baik dari pemuda di depanku ini. Aku menerima tawarannya untuk bersama-sama melewati perbatasan dengan mobilnya.
“Baiklah, saya ikut kamu”.

2 komentar:

hasan said...

nice trip good jobs jd pengen nih

Adhie Pamungkas said...

terima ksh atas komennya

Powered by Blogger.