Saturday, July 23, 2011

Relung (Part 8)

Dia tahu sekali cara memanipulasi pikiranku. Pintar sekali merajuk. Dan itu kelemahanku. Dia menggunakan senjata itu. Aku takut luluh.
"Kamu, tuh, jahat. Sadar nggak sih? Kamu datang ada hanya membawa masalah untuk aku. Dan aku sudah selesai dengan kamu. Aku harap kamu paham".
Kenapa aku menjadi terus mengumpat? Ini bukan aku. Ini bukan Bimo. Apakah sakit ini demikian menghujam dan menahun? Sampai aku bersikap seperti ini? Damn....
"Bimo, aku tahu aku salah. Please, maafkan aku, yah."
Kalo sudah masuk dalam tahapan seperti ini biasanya....
"Bukan pengakuan salah kamu yang aku butuhin. Aku dah maafin kamu. Tapi, jangan membebaniku dengan cara kamu seperti ini. Kalo kamu ikhlas untuk tidak lagi bersamaku maka aku juga bisa benar-benar ikhlas. Aku ngerasa kamu belum ikhlas dan aku ngerasa itu".
"Jangan dibahas lagi"
"Kita nggak bisa nggak membahas ini. Aku sudah capek dengan labilnya perasaan kamu ke aku. Please, kamu bantu aku juga untuk ikhlas".
"Caranya gimana? Menghindar dari kamu sudah. Yang belum apa?"
O o, jadi selalu ini kamu berusaha menghindari dari aku, dan rupanya nggak berhasil yah?
"Menghindar dari aku pun gak berhasil untuk ikhlas kan? kamu gak bisa, karena kamu masih sayang sama aku!"
"Aku ngga mau nyakitin dia lagi dan kamu lagi cukup semuanya jadi pelajaran".
Pfuih....itu sudah bukan urusanku lagi, runtukku dalam hati. Itu sudah menjadi resiko dari panasnya api yang kamu mainkan.
"Jangan berbicara seperti itu, Bim. Aku nggak seburuk itu memperlakukan kamu."
"Terus kenapa kamu sekarang hadir lagi? Aku pikir kita sudah dan selesai. Aku tidak ingin kamu pilih aku untuk kamu, karena posisi ku lemah diantara kamu dan dia. Akan lebih menyakitkan aku kalau kamu yang memilih dan ternyata pilihan kamu adalah dia dan bukan aku".
"Beberapa hari yang lalu, aku ribut dengannya. Dia tahu aku kenal kamu. Cuma aku berhasil meyakinkan dia, kalau tidak ada apa-apa antara aku dan kamu".
"Oh, oke terima kasih kamu akhirnya datang dengan kondisi seperti ini. Kalo kamu susah kamu datang ke aku dan kalo kamu senang, kamu lupain aku?" ucapku dengan sindiran yang kupikir sangat jelas.
"Bukan itu, Bimo!"
"Kamu nggak berubah. Kamu sadis. Kamu nggak punya hati".
"Bim...."
"Itu kamu. Kamu yang pintar memanipulasi perasaan orang. Tapi kamu tersiksa dengan keadaan itu. Itu alasan besar aku kenapa aku sudah tidak ingin bersama kamu lagi. Dan kamu juga setuju untuk tidak melanjutkannya. Aku sudah ikhlas. Tapi kamunya yang selalu menimbang hati kamu. Kamu yang masih ingin dia dan juga kamu yang masih inginkan aku. Tapi buat kamu, aku lebih mudah dibuang dan dilupakan. Dengannya kamu merasa jauh lebih nyaman dan aman. Sedangkan denganku....? aku apa? Aku nggak lebih dari selingkuhanmu dan ....simpanan kamu!"
Aku memang simpananmu, kan?
Sembab mataku seketika. Bendungan air mata mulai terasa akan jebol. Kembali ku hisap dalam-dalam rokok dari batang yang sudah kesekian. Tetap tak bisa tenang.
"Kamu tahu kelemahanku. Karena kamu tahu aku sayang kamu. Aku capek. Baiknya kamu benar-benar pergi. Ini semua untuk kebaikan kamu dan aku, juga dia".
"Tapi ada sesuatu dari kamu yang ngga bisa lepas. Aku ngga tahu apa".
"Apa tujuan kamu bicara itu?"
"Bim, kalo kamu sudah memaafkan aku, kenapa harus seperti ini? kamu ingin hukum aku?"
"KAMU TUH MUNAFIK!!!!!!!!!!"
Iya aku sudah memaafkanmu namun aku sedang merajang saat ini. Sesak nafasku.
Puas aku. Namun inikah cinta dan sayang? Harus menyakiti ketika semua kata tentang 'kita' sudah usai?
Sign out.
adhie's #TselBlackberry®

0 komentar:

Powered by Blogger.