Wednesday, July 27, 2011

Terima kasih, Mami! *peluk

Baru tiba di kantor 7:30, kakak perempuan pertamaku, telepon, kasih tahu kalau Mami sudah ngga ada. Aku tutup langsung telepon itu, dan nangis.
Ada sesak dan sesal. Karena malamnya, aku kepikiran ke Mami. Punya keinginan untuk foto bareng. Aku cuma punya foto bareng saat aku masih usia 6 bulan. Keinginan untuk foto bareng, juga sebenarnya pernah terjadi, beberapa bulan sebelum kakek ku meninggal, dan sesal, karena tidak pernah terwujud.
Jam 8 pun aku segera meluncur ke Menteng, karena aku dapat kabar, Mami akan dimakamkan jam 10 pagi di Tanah Kusir. Beruntung, pagi itu, jalan cukup bersahabat. 45 menit kemudian aku tiba di rumah Mami yang di Menteng. Prosesi kebaktian tutup peti masih berlangsung. Aku segera masuk garasi, mencari pintu samping dan masuk ke ruang tamu, untuk kemudian berdiri cukup lama.
Cuma bisa memandangi peti. Diam. Dan kembali menangis. Berhenti untuk kemudian menangis.
Aku melihat sosok wanita yang membelakangiku. Dari bahunya, aku tahu, dia Tante Anka, anak Mami yang ke lima. Aku melangkah mendekat. Dia menoleh, terus bangun menghampiri, kami pun berpelukan. Anak-anak Mami lainnya juga ku hampiri satu persatu. Selanjutnya, aku tetap mengikuti prosesi kebaktian tutup peti itu hingga usai. Sampai aku berkesempatan melihat Mami di dalam peti. Wajahnya damai banget. Aku yang berdiri di tepian peti, kemudian beranjak mundur, karena perlahan air mataku jatuh.
Walau bagaimanapun, aku punya kenangan pribadi terhadap sosok wanita yang aku biasa menyebutnya dengan 'Mami'.
Cerita bagaimana keluargaku ketemu Mami rasanya terputus deh. Aku sendiri ga pernah jelas, bagaimana keluarga kami 'dipersatukan'. Yang aku tahu, tiga kakak ku juga sering main ke rumah Mami di Pasar Minggu. Jarak rumah kami 10 menit jalan kaki. Dekat. Memang dekat.
Masa tahun 80-an itu memang masa krisis keluargaku dan beruntung keluargaku mengenal Mami. Aku sebagai bungsu pun, juga mengalami masa-masa krisis di awal tahun kehidupanku. Dan yang aku tahu, Mami juga turut membantu membesarkan aku.
Di rumahnya dengan halaman yang luas, aku terbiasa menginap beberapa malam, terutama saat weekend. Selain, halaman depannya yang luas, aku juga biasa bermain di halaman belakang. Saat bermain itu pula, ada bekas luka di dahi, yang hingga kini berbekas.
Aku masih kebayang kok, sketsa rumah Mami tempo dulu. Dimana aku tidur, dimana Mami biasa potong rambutku, ngobrol, becanda, dan hal lainnya. Sekarang sih, rumah Mami dah dipugar. Maaf, Mam, kasurmu sempat aku ompoli. Upz.
Kebiasaanku kalau menginap itu, Mami selalu sajikan roti dan susu coklat. Selalu dan selalu. Mungkin pikirnya agar aku cepat besar, eheheheheh.
Mami juga yang paling rewel kalo rambutku dah panjang. Pasti deh, Mami ambil gunting, dan paksa aku duduk di kursi kayu bundar. Selalu modelnya sama, dengan poni. *tutupmata. Pernah sekali waktu, Mami nggak sengaja, saat gunting rambutku, kupingku ikut ke gunting. Panik
Buat aku, Mami itu sosok yang penuh kasih, sekaligus berwibawa. Dengar tutur katanya saja, orang dah luluh. Tapi, Mami juga bisa tegas. Makanya, meski aku ngga pernah dimarahin, aku ngga berani menentangnya. Mami tahu benar mengajarkan anak-anaknya, termasuk aku, agar menghormatinya, tanpa perlu dia meminta.
Mami juga lah, yang memberiku sebuah nama. Nama yang sebenarnya ada kaitannya dengan bentuk pipiku yang chubby. Yup, Mami memberiku nama 'Bam', dari asal kata, 'Embam', dari 'Tembam'. Nama itu kemudian penggunaannya berkembang. Tanya deh, sama anak-anaknya Mami, mereka manggil nama asli ku atau 'Bam'?. Pada saat pemakaman tadi aja, semua mengingatku dengan 'Bam'. Nyokap, kakak2ku, bahkan tetanggaku juga ketularan memanggil aku dengan nama itu.
Sepertinya upaya menyembunyikan nama kecilku, gagal.
Tapi, ada panggilan lain sebenarnya. Nah, yang ini, khusus dibuatkan Oma untukku. Tapi, aku ngga mau share di sini. Wkwkwkwkw
Oma itu, ibunya Mami. Oma yang asli Belanda, pernah mengajak nyokap beserta kakak2ku untuk tinggal di sana. Tapi, nyokap tidak menyanggupinya, dan lebih memilih terus di Indonesia. Oma sendiri juga harus pulang pergi Belanda - Indonesia, saat itu. Hingga akhirnya memilih menetap di Indonesia, sampai akhir hidupnya.
Terima kasih, Tuhan, telah diberi kesempatan mengenal sosoknya. Aku tahu, kami berbeda iman, mengenangnya, berarti bentuk hormat aku terhadap sosok yang penuh kasih.
Love you, Mom. Terima kasih. *Peluk
Powered by Telkomsel Blackberry®

0 komentar:

Powered by Blogger.