Sunday, February 07, 2010

Relung (Part 2)

“Hi, Bim!”
“Hi, Bim!”
“Apa kabar, Bro?”
Mendadak suasana pecah dengan suara yang aku kenal akrab. Masih dalam keadaan mata terpejam, aku coba mengenali suara itu satu persatu. Anti, Dina, dan Rio. Teman kantorku. Aku berusaha membuka mataku yang begitu lekat. Efek obat tidur yang aku minum siang tadi, ternyata masih kuat efeknya.
“Hai, guyz!” sapaku setengah berbisik.
“Aduh, sorry, Bim, dah ganggu waktu istirahat lo!” ujar Anti seraya mendekat. Dina dan Rio mengekor di belakang dan kemudian mengelilingiku.
“Gak apa-apa, kok, aku seneng ketemu kalian!” jawabku.
“Mudah-mudahan, sih, kehadiran kami, gak ganggu kamu. Nih, ada buket bunga dari temen-temen kantor. Mereka juga titip salam untuk kamu. Kangen tuh!”

Aku tersenyum dan berusaha hadirkan tawaku di tengah kehadiran teman-temanku. Bunga warna kuning. Manisnya perhatian mereka. Air muka ku berubah seketika. Ada yang membebaniku di dalam mata ini. Air mata ini perlahan bergelayut, memaksa bergulir. Tapi, tidak. Aku gak ingin.
“Letakin di samping meja aja, An. Jadi merepotkan”,
“Sudahlah, kita kan teman”, jawab Dina.
“Ya, bro, yang penting lo istirahat aja dulu. Pekerjaan di kantor dah beres kok. Artikel yang lo tulis, besok juga dah publish. Ada beberapa yang memang harus diedit. Tapi gak banyak. Yah, gue tahu lah, gimana lo nulis”, hibur Rio padaku.
Yah, sudah tiga hari ini aku terbaring di rumah sakit. Dan tak banyak yang bisa aku lakukan kini, selain bed rest. Untung aku memiliki teman yang memperhatikanku. Jenuh sebenarnya terus berada di tempat tidur ini.
Kecelakaan itu. Yah, kecelakaan motor tiga hari lalu yang pada akhirnya membuat kaki kanan ku patah, lecet di lengan pada sejumlah titik, dan perut yang masih memar. Luka dalam. Kepalaku pun masih terbalut perban. Dokter bilang gegar otak ringan. Gak serius. Aku sendiri tidak tahu siapa orang yang berbaik hati mengantarku ke MMC. Tapi yang ada dipikiranku adalah bagaimana nasib tukang ojek itu? Nasib pemilik mobil itu. Gara-gara aku mereka jadi menderita. Mestinya aku tidak perlu paksakan tukang ojek itu untuk ngebut.
Hal terakhir yang aku tahu, motor yang aku tumpangi menabrak mobil saat akan belok di tikungan Four Season.
Dan aku pun dalam balutan gips di bagian paha bawah kanan.
“Gue kemari waktu lo masuk ke MMC. Rumah sakit yang telpon kantor. Untungnya mereka liat id karyawan lo. Semua dah diurus kantor, kok”, ucap Rio menghiburku.
“Keluarga lo gak ada yang datang, Bim?”
Aku berusaha merubah posisi tidurku. Capek.
“Mereka kan tinggal di luar kota. Gak tega juga lah, gue ngabarin mereka. Toh gue juga dah gak apa-apa sekarang ini. Lagipula, bagaimana gue bisa menghubungi mereka,”
Ponsel ku hilang. Aku gak tahu hilang di mana. Mungkin saja ada orang jahil yang mengambil ponselku saat aku terkapar.
“Jadi dari hari pertama lo dirawat, selain kami yang datang, gak ada lagi yang besuk lo?” tanya Anti. Dan aku berusaha memahami pertanyaannya itu.
“Cari pacar, bro. Kalo lo dalam keadaan seperti ini, kan, jadi enak ada yang ngurusin lo”, imbuh Rio.
Dalam benakku muncul satu kata yang juga menjadi pertanyaanku berikutnya. Pacar?

0 komentar:

Powered by Blogger.