Saturday, February 06, 2010

Relung (The Series)

Sudah seminggu sejak aku bulat dengan keputusan itu. Tapi menjelang satu minggu ini, aku merasa jengah dengan semuanya. Apa salahku? Kenapa jujur dengan perasaan juga kemudian harus dipersalahkan. Dan kini setelah sempat ku ungkap rasa itu, keadaan kemudian tidak menjadi lebih baik. Sms yang tak terbalas, ku pikir sibuk lah. Atau dia memang perlu waktu. Yah, waktu. Aku ingin menelponnya, tidak hanya sms. Aku ingin benar-benar menghubunginya. Ada apa? Haruskah ku menghubunginya atau dia memang perlu waktu untuk menyendiri. Menghubunginya akan menjawab semua pertanyaan itu.
Kriiiing...kriiing
Cukup sekali saja aku menghubunginya.
Aku bersandar pada kursi kerjaku. Meregangkan otot kaki dan tanganku. Menghela nafas panjang. Pejamkan mata. Ah sudahlah. Pikirku dalam hati. Sudah saatnya memang. Dia ingin benar-benar pergi. Dan tidak ingin lagi di ganggu oleh bajingan seperti ku.

Bip...bip...bip
Aku beranjak. Tanganku menggapai ponselku. Pfuih, ada sms darinya. Tak segera ku baca. Takut berisi tulisan yang tidak aku harapkan. Aku lekatkan tubuhku pada tepian meja. Harus ku baca sms ini, ucapku dalam hati.
“...Kita harus ketemu. Aku tunggu jam 7 di Setiabudi @ mangkuk putih”
“Jam tujuh”, ucapku pelan. Akhirnya sms dari nya pun datang. Ponsel masih digenggamanku. Tak ingin lepas, tak ingin segera hapus isi sms itu. Senyum mulai terbangun dari sudut bibirku. Hati perlahan cerah. Suntuk perlahan terkikis. Hanya karena sebuah sms. Lama juga aku tidak beranjak dari kursiku. Menikmati suasana hati yang berubah.
Wex, aku lihat jam dinding.
“6:10? Damn!”.
Aku melompat kesetanan. Membiarkan komputer dan kerja ku. Ku biarkan mereka kangen. Toh besok juga ketemu lagi, pikirku. Tapi, untuknya, aku tidak tahu kapan akan bisa bertemunya lagi. Hari ini, jam 7 malam adalah kesempatan ku melepas kangen dan membicarakan semuanya. Kota – Setiabudi? Sampaikah? Tapi, bagaimana aku bisa tiba di sana tepat waktu?
Thnx, God, Express baru saja menurunkan pelanggan. I’m lucky.
Tak banyak basa basi, aku perintahkan supir segera meluncur cepat ke arah Setiabudi.
Tak ada lagi sms darinya. Ku pun ragu untuk menghubunginya. Sms dari ku pun tak dibalasnya. Kenapa? Gumanku.
20 menit menuju jam 7.
Apakah mungkin ku tiba tepat waktu? Apakah mungkin ia bersedia menungguku meski aku telat beberapa menit?
“Pak, maaf, bisa lebih cepat lagi?”
Aku sebenarnya sadar keadaan lalu lintas jam pulang kantor sangat tidak bersahabat. Tapi apa lagi yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menemuinya. Ada yang harus aku sampaikan.
Macet.
10 menit lagi.
“Pak, maaf, saya buru-buru. Saya turun di sini saja”. Argo ku bayar dengan sedikit tips. Aku nggak mau buat kecewa orang hanya karena tujuanku.
Ojek. Yah, naik ojek, gak ada cara lain. Setiabudi building hanya beberapa ratus meter dari ku. Harus naik ojek.
Aku bergegas menuju sejumlah ojek motor di bawah skywalk dukuh atas.
“Setiabudi building, pak”.
Auch....
Bip...bip...bip
Berbagai cara ku lakukan untuk meraih ponselku.
“....aku harus segera pulang. Maaf, tidak bisa menunggu kamu”.
Gosh.

0 komentar:

Powered by Blogger.