Thursday, February 18, 2010

Relung (Part 3)

Dah sepuluh hari. Terasa banget jenuhnya berada di rumah sakit. Sendiri pula. Tanpa pacar. "Damn! Thanx Rio, lo dah ingetin gue untuk mencari seorang pacar. Tapi lo gak tau kalo kondisi gue sekarang ini, karena dalam perjuangan mencari pacar", umpatku sekesal-kesalnya.
Time to go home now. Dokter Laksmi meminta ku untuk terus kontrol dan melakukan fisioterapi. Ya ya ya ya ya.
Syukurnya, patah tulang ku tidak begitu parah, tapi harus nunggu tiga minggu untuk lepas gips. Lecet di lengan ku pun, sudah mengering. Memar di badan pun sudah berangsur membaik. Cidera di kepala saja yang masih harus rutin di cek. Pfuih, jadi penyakitan gini. Antibiotik, vitamin, dan .... obat tidur....lagi????
Dengan kondisi seperti ini, mustahil aku bisa kembali ke kantor. Jadi, sementara ini tugas kantor bisa aku lakukan di rumahku.
Ya iyalah aku nggak bisa kemana-mana. Gips ini jelas menghalangi gerakku. Dan aku nggak bisa kemana-mana. Hanya mbok Ina yang akhirnya sangat berperan dalam masa terapi ku ini. Memasak, mencuci, dan.... tak perlu lah ku jelaskan pekerjaan rutinnya. Yang jelas, Mbok Ina membantu banget.
Wanita paruh baya itu sudah membantuku sejak aku pertama kali tinggal di rumah ini. Tiga tahun lalu. Tiga tahun sudah saat kali pertama tiba di Jakarta. Keluarga ku semua ada di Semarang. Tak ada satu sanak saudara pun ada di Jakarta. Sendiri. Sebatang kara. Halah!!!
Aku kontrak sebenarnya di rumah ini dari seorang pemilik warga asli. Rumah petakan satu kamar dengan satu kamar mandi dan dapur. Mungil. Sejak kali pertama melihatnya aku dah jatuh cinta dengan rumah bercat coklat muda. Letaknya strategis di bilangan Mampang Prapatan. Tidak terlalu jauh dari jalan utama. Tapi dari lokasi rumahku dengan kantorku, lumayan jauh aku berkendara. Pfuih, Kalo motorku segera aku ambil dari bengkel sekembalinya aku dari Jogja, mungkin aku bisa dengan cepat bertemu dengannya hari itu. Umpat ku dalam hati.
Sunyi.
Aku nggak tahu dia di mana saat ini. Bukannya aku tidak mau mencari. Tapi bagaimana bisa ku cari dia. Meski aku tahu dia bekerja di mana pun, aku tidak mungkin menghampirinya. Jera setelah ditinggal kabur saat janji terakhir itu. Pasang surut perasaannya yang bikin aku pusing.
Aku hela nafas panjang. Nafas yang begitu berat. Aku perlu waktu untuk diriku dulu. Dan ku yakin dia juga. Tapi, entah, seberapa besar keyakinan ku kini. Aku tidak dalam keadaan berdaya untuk melakukan apapun. Apa yang dia lakukan waktu itu? Kenapa dengan mudah dia meninggalkan ku. Padahal aku tinggal hitungan menit berada di sampingnya. Pertanyaan itu yang selalu menghantuiku.
Sudahlah. Aku dalam sepi kembali saat ini dan yang aku rasa terlalu sepi juga rasanya kamar ini. Tapi untuk kamar yang sudah lebih dari satu minggu ditinggalkan penghuninya, kamar ini masih tetap segar dan wangi. Rapih.
Padahal aku ingat sekali, pagi di saat hari naas itu, aku bangun kesiangan. Lelah dan harus segera rapat redaksi. Artikel yang aku tulis pun harus diselesaikan hari itu juga. Untungnya selama tiga hari tugas di Jogja aku tetap menyicil tulisan. Jadinya, hanya merapihkan saja kata-kata yang tidak perlu. Dan kini, semua begitu teratur. Thnx, yah, Mbok.
Agh, sudah setengah jam aku buang waktu ku dengan termenung. Dan selama itu pula aku duduk di tepian tempat tidur.
Dengan kruk di ketiakku, ku berusaha mengambil remote cd player. Dan play.
February Song by Josh Groban dari album Awake pun perlahan memecah kesunyian. Damn, aku suka banget lagu ini. Temanku saat menulis. Aku pun menuju meja kerjaku. Ku tarik kursi perlahan.
Tok..tok...tok
“Masuk!” seru ku dari dalam.
“Den Bimo, kalo tidak ada lagi yang Mbok lakukan, Mbok pamit pulang yah”.
Kursi ku kembalikan ke posisi semula. Aku menghampiri Mbok Ina. Tapi, baru satu kali kaki melangkah, Mbok Ina sudah menghampiriku cepat.
“Aduh, Den Bimo, jangan banyak jalan dulu. Biar cepat sembuh”.
“Gak apa-apa, Mbok. Aku yang minta maaf sama, Mbok. Gara-gara aku di rumah sakit, gaji bulanan, Mbok tertunda”.
Aku merogoh kantong celanaku. Sebuah amplop putih pun sudah digenggaman.
“Ini, Mbok, gaji bulanOktobe. Maaf sekali lagi, kalo telat, yah”.
“Aduh, Den, masih sempet-sempetnya mikirin, Mbok. Kalo uang itu masih Den Bimo perlu, gak apa apa, nanti-nanti aja ngasih ke Mboknya”.
“Sudah kewajibanku, kok, Mbok. Diterima yah. Aku ada kok”, pintaku pelan sambil berusaha meraih telapak tangannya agar Mbok mau nerima uang itu.
“Makasih, Den. Mudah-mudahan Aden lekas sembuh, yah. Mbok pamit sekarang. Lauk kesukaan Aden dah Mbok masakin. Cepetan dimakan”.
Ada senyum. Senyum Mbok Ina di hadapanku. Guratan tua di wajahnya. Mengingatkanku pada nenekku.
Mbok Ina melangkah pergi. Pulang.
Ku sendiri lagi.
Agh, ku kembali menuju meja kerjaku. Menyalakan laptop. Sementara Josh nyanyi In Her Eyes. Aku buka facebook ku. Dah lama gak update. Begitu juga di e-mail.
Loading.....
Wex, banyak banget postingan di wall-ku. Dominan kasih ucapan lekas sembuh. Hikz, jadi haru. Aku menyapu semua postingan yang masuk, membaca sekilas dan aku mengerutkan kening, sedih, karena tak ada satupun dari....aku liat mail dari nya. Aku liat. Yes, dia kirim aku email. Gemetar aku klik mail dari nya.

0 komentar:

Powered by Blogger.