Wednesday, September 07, 2011

Relung (Part 10)

Plaza Semanggi.
Kalau bukan untuk menghormati undangan Pak Yogi, aku sudah enggan meluluskan keinginan teman-teman untuk makan siang di tempat ini. Dan lebih memilih berada di kantor meski selalu menemukan kebuntuan dalam mencari titik temu dari setiap argumen kami.
Entah, aku sudah malas kalau harus berada di sebuah tempat di mana begitu banyak orang yang datang dengan beragam motivasi yang terkadang nggak jelas. Beragam gaya dan beragam pola tingkah laku. Tapi, di sisi lain, itu lah uniknya sebuah kehidupan. Dan setiap orang pasti memiliki keunikan.
Entah pada pola pikir mana aku berada saat ini.
Cavana? Mmm nggak terlalu suka.
Melewati pos pintu jaga. Sudah nggak peduli, berapa puluh pasang mata yang mengamatiku, tentunya dengan kruk yang aku gunakan.
Aneh, baru lihat yah, orang jalan pakai kruk???
“Bim, napa lo, diem banget?”
Rio menepuk pundakku. Ternyata setelah turun dari mobil di lobi barat, aku menghiraukan teman-temanku. Sementara aku asik melihat kerumanan orang lalu lalang. Dan beberapa duduk di walk cafe. Anti, Dina, dan Pak Yogi justru sudah jauh di depan.
“Sorry, bro, lagi asik nech gue liat orang-orang. Harap maklum, lah, Gue kan gak kemana-mana, kan, selama ini!” ujarku mencari pembenaran.
“Ya udah, cepetan lah, yang lainnya dah di depan nech”
Aku berhenti.
“Well, hellooooo!” terpekik perlahan.
Aku membelalakkan mata ke arah Rio. Kesal. Meski belum sempat sampai ke ubun-ubun.
Nggak perlu banyak kata, Rio sudah paham ternyata.
“Sorry, Bim. Nggak nyadar gue, kalau lo jalannya harus pelan-pelan. Yah, udah pelan-pelan. Gue temenin lo. Biar mereka cari tempat dulu aja. Paling mereka juga nelpon kita”.
Sekarang Rio dan aku sudah berjalan beriringan.
Sungkan yang kulihat dari Rio saat berusaha membantu tiap langkah dan memegang kruk ku saat aku mulai terlihat letih.
“Dah nyantai aja. Gue gak apa-apa”.
Satu yang paling aku nggak suka dari Plaza Semanggi adalah bentuk koridornya yang memutar. Dan itu menyesatkan. Benar-benar menyesatkan. Sangat tidak bersahabat. Apalagi kalau pertama kali masuk ke tempat ini.
“Mereka nunggu di Sky Dining tuh”.
“Ha?” tanyaku singkat dan mengernyitkan keningku. Entah ada berapa garis yang terbentuk dari lipatan dahiku. Tapi, mendengar kata Sky Dining, rasanya, cukup berlipat-lipat garisnya.
“Iya, si Anti baru kirim sms, kalau mereka sudah di Sky Dining. Di tempat ngopinya tuh”.
“Marah gue. Tau kalau mau makan di Sky Dining, kan, bisa langsung parkir di lantai 9. Atau nggak, setidaknya bisa di drop di lobi selatan dan langsung naik lift. Nyiksa nech.” Umpatku.
“Ya, mungkin mereka berubah pikiran, Bim. Sabar lah. Ini, kan, jam makan siang. Jadi, mungkin setelah mencari ke sana kemari penuh tempatnya dan mereka memutuskan untuk coba ke Sky Dining.” Ucap Rio menenangkan.
Nggak perlu aku menjawab. Dan setengah hati aku melangkah.
Sesuatu yang indah itu memang patut diperjuangkan. Tapi, apa perlu memperjuangkan sesuatu tapi menyiksa fisik? Makan gratis gitu. Damn.
Percuma kalau terus meruntuk. Dengan susah payah aku melangkah.
Rio sudah tidak banyak kata lagi.
Kasihan dia.
“Bimo”.

0 komentar:

Powered by Blogger.