Wednesday, September 07, 2011

Relung (Part 9)

Ku buka pintu taksi. Perlahan berdiri. Tertatih tatih.
Pfuih, masih agak susah dibawa jalan. Ku raih kruk dan kuletakkan di ketiak kananku. Sebentar kemudian taksi sudah beranjak pergi.
Ku berdiri cukup lama di depan pintu lobi. Sebelum akhirnya mbak Retno, resepsionis kantor membukakan pintu untukku.
“Pa kabar, mas Bimo? Dah sembuh, mas?”

Aku sambut uluran tangannya. Tapi...upz
“Maaf, mbak, pake tangan kiri salamannya. Aku baik-baik saja, kok. Apa kabar juga? Cuma yah ini, belum normal jalannya. Makasih loh, Mbak, pake dibukain pintu segala”.
Mbak Retno hanya tersenyum.
Wuih, sejuk sekali ruangan ini. Sejuk juga kalau ketemu dengan orang yang bisa memberi senyumnya.
“Aku masuk dulu yah, Mbak. Oh yah, Pak Tejo kemana? Kok, gak ada di tempat?”
Aku hentikan langkahku saat menyadari Pak Tejo pesuruh kantor yang biasanya duduk di dekat meja resepsionis tidak ku lihat. Atau mungkin sedang membuat kan minum teman-teman ku?
“Pak Tejo sedang cuti, Mas. Baru masuk lagi minggu besok. Anaknya mau nikah di kampung”.
“Oh...ya sudah, Aku masuk dulu yah, Mbak”.
Tertatih. Ku coba lagi melangkah perlahan.
Dah jam sepuluh, kok sepi yah? Tanyaku dalam hati sambil melihat jam di dinding lobi.
Hari senin dan sudah tiga minggu aku tidak menginjakkan kaki ku di kantor ini. Hawa udara kantor yang bikin aku kangen. Ngangenin banget suasananya. Aduh, sudah nggak tahu seperti apa, meja kerjaku setelah tiga minggu ditinggalkan begitu saja.
Rio bilang kalau meja ku dah rapi. Penasaran. Kalau dari pintu ruangan ini, belum tampak bagaimana rapihnya mejaku. Huh, mejaku tuh ada di pojok. Sebuah lokasi yang nyaman banget.
Terdengar sayup-sayup suara dari balik pintu ruangan Pak Yogi. Ku coba mengenali suara dengan mendekat ke arah sumber suara itu. Ada Anti, Dina, dan Rio. Meeting? Ini kan hari....?
Damn, iya saatnya meeting. Lupa euy.
Tok tok tok
Aku buka pintu...
“Bimoooo”
“Bro”
“Hai, Bim”
Upz....
Aduh.
Jedug.
Kikuk aku.
Diskusi terhenti. Mereka menyerbuku. Rio tepuk bahuku dan merangkulku. Anti cium pipi ku. Dina mengantri untuk mencium pipiku berikutnya. Sementara Pak Yogi dengan kalemnya senyum dan menghampiriku.
“Kamu dah baik kan, Bim?” tanya Pak Yogi sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Maaf, Pak, pake tangan kiri. Mmmmm udah lebih baik kok, Pak. Dokter hanya menganjurkan untuk fisioterapi aja untuk memperkokoh posisi jalan. Itu saja”.
Bagaimana aku nggak kangen dengan kantor kalau mereka hangat seperti ini menyambutku.
“Kami sedang membahas proyek selanjutnya. Tugas kamu sudah di acc klien. Mereka puas, meski ada revisi sedikit”.
Ucap Pak Yogi sambil mempersilahkan kamu duduk. Hanya bisa menyimak. Mencerna tiap kata agar bisa melebur dalam pembicaraan.
Tim kembali lengkap.
Langsung back to topic kerjaan. Tidak apa apa lah, penyegaran untukku karena terlalu lama aku berada dalam kamar. Jadi autis. Bagus untukku kalau bisa fokus kembali ke kerjaanku daripada.......
Ah, suasana obrolan kreatif ini yang hilang selama aku terkurung di rumah. Nggak pernah damai dengan argumen. Semua ide dan permasalahan dibahas saat itu juga. Dinamis banget. Aku pun dengan mudah larut dalam diskusi ini.
Nggak heran kalau dua jam rasanya cepat berlalu. Kalau pun diskusi berakhir buntu, meeting dilanjutkan ke kafe.
Dan memang ternyata buntu.
Lunch time.
Pak Yogi mengajak kami makan siang di Plaza Semanggi. Katanya sih, sekalian makan siang menyambut kedatanganku lagi di kantor. Halah.

0 komentar:

Powered by Blogger.