Monday, April 17, 2006


Pukul 19:15 kereta senja utama bisnis jurusan Jakarta- semarang lansir dari stasiun senen. Perjalanan yang cukup lancar. Tidak heran jika kemudian delapan jam kemudian, aku pun tiba di stasiun tawang jam 3 pagi. Pfuih, rasa kantuk serasa ingin membunuh ku secara dingin. Posisi tidur yang tidak sempurna pun memaksa ku untuk sebentar-benar meringis sakit. Apa daya. Aku dan mak-ku pun dengan bawaan tidak begitu banyak, keluar dari stasiun. Mmmm udara dini hari kota Semarang. Serasa menghapus kantuk dan lelah kami berdua. Kami pun segera beranjak. Di mulut stasiun sudah banyak supir dan pembawa becak menawarkan jasa. Pemandangan yang tidak pernah tergantikan dari tahun ke tahun. Tapi ada satu yang mengajakku mencari tahu. Taksi-taksi liar dengan argo kuda yang biasa mangkal di lapangan parkir stasiun sudah tak muncul lagi. Bahkan dari keterangan supir taksi yang ku tumpangi untuk menuju rumah bude-ku, mengatakan, kalau taksi liar itu sudah hampir setahun ini tidak lagi beroperasi. Kongsi taksi di kota Semarang banyak dioperasikan dari tiga perusahaan besar, Kosti, Centris, dan Pandu. Yah, cukup aman lah pada akhirnya. Dan setidaknya dengan begitu ku tidak buang uang percuma. Karena biasanya, dengan keadaan terdesak, para supir taksi liar itu berani mengambil ongkos lebih dari biasanya. Buktinya, dengan ongkos resmi, kami hanya mengeluarkan biaya lima belas ribu rupiah untuk sampai di rumah bude-ku di sekitaran Puspanjolo. Padahal dengan taksi liar, mereka berani dengan ongkos duapuluh ribu rupiah. Wex.
Tidak cukup lama kami menghabiskan waktu kami berdua di rumah bude-ku. Biasanya kami hanya tidur sebentar, mandi, sarapan, untuk kemudian berangkat ke desa. Kali ini mak-ku mengajak serta bude-ku. Selain karena kami juag tidak melewatkan waktu lama di desa. Mak-ku juga beranggapan bude-ku sudah lama sekali tidak ke desa. Terakhir mungkin ketika nenek-ku meninggal dunia. Itupun tiga tahun lalu. Jam sembilan pagi kami pun berangkat pergi.
Jujur, aku masih sangat lelah. dan kantukku kian tidak tertahankan. Bayangan rumah peninggalan nenek ada di benakku. Bukan apa. Yang jelas, aku tidak pernah terpikirkan akan sekotor apa debu ada di rumah itu. Maklum saja rumah itu memang tidak ada yang menempati. Bahkan mak-ku sudah menawarkan ke beberapa kerabat di desa untuk silhakan menepati rumah itu dari pada kosong percuma. Mungkin mereka sungkan. Yang jelas, rumah peninggalan nenekku kini, jauh lebih nyaman keadaannya sekarang. Sudah di ubin, dua kamar tidur dan cukup luas untuk ditempati. Tapi sudahlah.
Perjalanan ke desa itupun bermula dari Terminal Terboyo. Dengan bisa tiga perempat, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Sudah ku duga sebelumnya, kalau kecepatan bus itu sudah seperti pentium 4. Cepat sekali. Aku yang awalnya ingin menghabiskan perjalanan dua jam itu dengan tidur, terpaksa membelalakkan mata. Bagaimana tidak? Supir itu yang berani menyalip kanan kiri. Bahkan nekat menyalip truk konteiner. Pfuih, keinginan tidurpun pupus. Namun, dengan ongkos per orang enam ribu perak, selama perjalanan kami dapat bonus musik campur sari.
Dua jam perjalan itu pun berakhir di ujung jalan menuju rumah nenek. Seperti biasa, pembantaian. Banyak debu di sana sini. Untuk satu jam ke depan, aku, mak-ku dan bu de-ku pun kerja bakti memnbersihkan rumah. Sementara pekarangan rumah, mak-ku minta tolong salah seorang saudara untuk memotong rumput.
You know what, belum berapa lama kedatangan kami di desa, ada beberapa remaja dan di antaranya adalah saudaraku yang datang ke rumah. Belum juga peluh ini kering, dan belum juga ku basuh wajahku, mereka memintaku untuk menjadi pembawa acara pada acara pembukaan kejuaraan sepka takraw tingkat kabupaten Jepara. Glek. Mimpi apa aku semalam. Tapi, yah sudahlah, mereka telah memintaku, berarti mereka yakin aku bisa. Tapi, tetap saja aku yang tidak habis pikir, kenapa aku? Mak-ku bilang, terima saja. Ya wes, ku lakoni tugas itu.
Sudah zuhur. Makanan sudah datang. Kami tidak perlu memasak. Biasanya memang, ketika mereka tahu kami datang, mereka mengantar makan siang sekedarnya. Semur tahun dan telur serta sebakul nasi. Cukuplah untuk mengganjal perut hingga sore.
Jam dua. Waktunya eksekusi. Sudah ada dikepalaku, berapa orang yang akan datang pada acara pembukaan itu. Bukan gr....mungkin aku jarang ada di desa itu. Kalaupun ku datang ke desa pun tidak dalam waktu yang lama. Jadinya, kehadiranku pun jadi perhatian tersendiri. Salah tingkah iyalah. Tapi, aku kubur kemudian dengan menyapa mereka yang berdekatan denganku, sambil ku membaca keadaan di sekitar. Mencoba ramah dan upz tebar pesona. hehehheheh Wow MC-nya langsung didatangkan dari Jakarta. Tugas itupun selesai tanpa beban.
Selesai itu, aku kemudian berjalan sepanjang jalan desa dan ke tempat favorit tiap kali ke desa, sawah. Aku bisa yang berjam-jam di sawah. Dan biasanya, usai zuhur, meski panas, aku punya kebiasaan untuk turun ke sawah atau sekedar duduk di pematang sawah. Luapkan keluh dan kesal berbagai cerita hidup. Jangan heran kalau sekembalinya aku ke Jakarta, kulitku menghitam. Mereka yang bertani biasanya memanggil aku untuk makan siang bersama. Ngobrol tentang kakek dan nenekku. Orang besar dan dituakan di desa ini. Banyak cerita. Begitupun aku. Wuih, tentram banget. Lepas itu kemudian aku mengunjungi beberapa kerabat. Sementara mak-ku istirahat.

0 komentar:

Powered by Blogger.